Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar II SPK Tulungagung: Bertemu dan Saling Menguatkan




Woks

Alhamdulillah Kopdar ke 2 SPK Tulungagung bisa dilaksanakan. Sejak ditetapkan sekitar Oktober 2023 acara ini berjalan dengan lancar. Walaupun sedikit tertatih yang jelas acara kopdar ini sangatlah penting. Tentu kepentingan setiap orang akan sangat berbeda. Tapi setidaknya ada kepentingan sejarah yang harus ditunaikan.

Kopdar ke 2 ini dilaksanakan di Ndalem Ibu Nikmah, Sukoanyar Pakel Tulungagung. Kopdar ke 2 tersebut membawa tema, "Bersahabat dengan Ilmu dan Buku". Walaupun dalam acara tidak membahas tema tersebut secara detail. Akan tetapi kopdar di manapun selalu meninggalkan jejak untuk senantiasa ditulis. Kopdar adalah perayaan mini bagi para penulis menguatkan kembali motivasinya.

Kopdar kali ini secara kuantitas mungkin tidak seramai dulu di edisi perdana. Walau demikian ada beberapa hal yang bisa kita olah sebagai oleh-oleh merawat spirit menulis. Pertama, Mas Roni selaku ketua SPK TA menjelaskan arah, visi, misi dan program kerja SPK dengan begitu gamblang. Hal itu sekaligus menjawab bahwa SPK itu tidak sekadar grup menulis tapi literasi yang sangat luas. Kedua, tuan rumah dalam hal ini Bu Nikmah dan Pak Anwar yang luar biasa. Di tengah kesibukan masih sempat menjamu kami dalam acara nan sederhana.

Saya menambahkan bahwa tidak ada orang yang nganggur. Semua orang sibuk atau memang sibuk. Di belahan dunia manapun atau di medsos semua orang mengaku sibuk. Maka dari itu menyempatkan hadir dalam forum seperti kopdar adalah kesempatan langka. Ketiga, saya selalu terkesan pada mereka yang jauh secara jarak tapi masih sempat hadir dalam acara kopdar, misalnya Bu Rodi'ah dari Watulimo Trenggalek. Tentu menyempatkan itu bukan perkara mudah. Ada beberapa hal yang pastinya dikorbankan. Tapi secara jujur pasti ada dampak baik yang didapat dari mengikuti kegiatan tersebut.

Keempat, saling sharing ala Mba Filza itu unik. Beliau yang seorang guru tentu memiliki pengalaman bagaimana menghadapi anak didik dengan kreatif terutama dalam berliterasi. Selain itu forum kopdar juga dalam rangka saling menguatkan agar kita tetap percaya diri di jalur menulis. Kelima, Mba Zidna memberi pesan kepada mahasiswa jika menulis ya menulis saja. Tidak usah hiraukan keadaan grup dan coletah orang lain. Ingat bahwa menulis itu adalah perkara orientasi sehingga harus dikuatkan sejak dini. Dari diri sendiri bukan karena orang lain.

Keenam, saya pun menambahkan bahwa problem menulis itu bukan soal sibuk atau malas melainkan orientasinya. Jika kita sudah berkomitmen menulis sebagai jalan ninja tentu dalam keadaan apapun bisa dilakukan. Bukankah banyak orang yang berkarya justru di saat waktu sempit. Bahkan di saat luang pun tidak menjamin kita bisa menulis. Karena ini bukan soal waktu atau tempat melainkan niat.

Ketujuh, di manapun tempatnya baik di grup WA maupun dalam organisasi selalu ada 3 tipe orang. Yaitu mereka yang vakum, mau aktif dan aktif. Tinggal kita memilih di barisan mana yang akan diikuti. Dalam hal menulis pun demikian, kita hanya perlu memacu lebih terdepan guna menghasilkan tulisan. Saya yakin dengan kegigihan dan komitmen yang kuat menulis bukanlah hal berat. Justru menulis memang harus diperjuangkan.

Kedelapan, menulis itu pekerjaan mulia. Maka sebisa mungkin kita menulis setiap hari. Dengan menulis berarti kita turut memperpanjang pengetahuan. Kita juga akan dicatat menjadi orang yang telah menzakati pikiran. Karena tidak semua orang seberuntung kita yang mendapatkan asupan pendidikan. Maka dari itu menulis sepertinya hal paling terdekat yang bisa dilakukan.

Kesembilan, kopdar adalah sarana menguatkan atau charging. Tidak semua penulis itu kuat. Kadang pemula seperti kita perlu wadah, circle, atau semacam majelis untuk saling support. Kita butuh kekuatan persahabatan agar saling menguatkan. Maka lewat kopdar setidaknya kita belajar akan arti kesederhanaan dan kesetiaan. Menulis adalah jalan sunyi tapi kita butuh kebersamaan dalam mewujudkannya.

Demikian catatan kopdar ke 2 ini. Secara pribadi saya tentu berterimakasih atas lungguh, suguh, gupuh dari keluarga Bu Nikmah dan Pak Anwar. Termasuk kawan-kawan yang telah menyempatkan hadir di tengah kesibukan. Akhirnya saya harus mengakui bahwa forum semacam kopdar adalah reuni, khususnya bagi perantau bahwa kita tidak sendiri. Mari saling bertemu dan menguatkan.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/2/24

Komentar

  1. Ada 9 catatan yang menarik mas woko. 9 catatan itu telah menggeneralisasi kan diskusi kita selama 2 jam an. Tp hal yg sangat membekas pada memori saya adalah menulis itu adalah jalan ninja. Karena kalau kita tidak cerdik mencuri waktu, kita sendiri yang akan ditinggalkan oleh waktu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde