Langsung ke konten utama

Kisah-kisah Perekonomian




Woko Utoro

Di beberapa kesempatan saat saya berbincang dengan Pak Fauzan selalu saja mendapatkan ilmu baru. Jika bicara dengan beliau topiknya tidak jauh yaitu seputar dunia kampus, tasawuf dan ekonomi. Bagian akhir inilah yang salah satunya membentuk mental saya untuk memberdayakan ekonomi. Bagian itu pula menjadikan saya untuk melek teknologi dan literasi finansial. Maka dari itu selalu ada hal yang perlu saya tuliskan.

Kata beliau dunia bisnis itu terjadi strata. Sama halnya dalam tingkatan sosial di masyarakat. Ini bukan soal kaya miskin tapi soal subjek alias pelaku bisnis. Setidaknya ada 4 strata bisnis yang dijumpai di masyarakat. Pertama, mereka yang mengelola bisnisnya sendiri. Kelompok ini bisa juga individu yang mengelola bisnis sejak tahap bahan mentah, bahan matang hingga pemasaran. Kelompok ini tentu rentan untuk berhubungan dengan modal dan energi.

Kedua, mereka yang bekerja kepada perusahaan atau instansi. Bisa disebut juga sebagai karyawan. Kelompok ini tidak begitu memiliki resiko besar karena modal utama ada pada boss atau owner. Jika dalam lembaga tentu mereka akan menerima gaji setiap bulan. Kelompok bisa juga disebut pekerja pasif.

Ketiga, mereka yang tidak menjalankan usaha secara fisik tapi mendapatkan keuntungan dari pekerjaan orang lain. Kelompok ini sering dikenal dengan investor. Mereka hanya memberikan modal dan memutar modal tersebut dengan tujuan keuntungan. Para investor tentu tahu mana sumber keuntungan yang bisa mereka dapatkan. Yaitu perusahaan atau bisnis dengan visi misi yang jelas.

Keempat, mereka yang mengatur semua hal dan mengeruk sumber daya tanpa pandang bulu. Kelompok ini sering dikenal dengan kapitalis yang memiliki modal besar sekaligus kekuasaan. Dengan modal mereka memperluas areal bisnis sedangkan dengan kekuasaan mereka memuluskan jalan. Intinya semua hal demi keuntungan alias profit.

Begitulah kisahnya bahwa hanya orang-orang dengan pemilik modal besarlah yang terus menguasai aset. Jika konglomerasi sudah berkongsi dengan oligarki maka kita tak akan kebagian apapun. Hidup akan terus berjuang sekuat tenaga sedangkan di borjuis ongkang-ongkang di istana.[]

the woks institute l rumah peradaban 3/2/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde