Langsung ke konten utama

Menjadi Bagian Dari Kompas (2)




Woko Utoro

Tanggal 12 Februari tepatnya dua hari menjelang pemilu saya mengurus perizinan. Alhamdulillah di sesi ini saya tidak menemui kendala apapun. Setelah bertemu ketua KPPS Desa Dono yaitu Bapak Sigit semua beres. Setelah itu saya diarahkan untuk kenalan dengan Mas Ikhsan (Ketua TPS 011) dan Pak Didik (tuan rumah TPS 011). Hingga akhirnya saya siap eksekusi di tanggal 14 Februari.

Singkat kisah grup WA Kompas sudah ramai sejak semalam untuk koordinasi. Saya pun sudah prediksi jika pagi kami harus sudah di TKP. Setelah shubuh saya langsung tancap gas. Sepanjang jalan mencari sarapan ramai semua. Akhirnya saya menemukan sarapan di desa Tugu. Tempatnya sedikit jauh dari TPS yang saya tuju. Setelah itu baru saya bertugas di TPS 011. Tidak lupa saya bercengkrama dengan beberapa panitia yang sudah standby di sana.

Pukul 7 tepat pemungutan suara pun dimulai. Saya terus memantau terutama persiapan registrasi, exitpoll hingga penghitungan pilres dan DPR RI. Tidak ada yang istimewa di TPS ini hanya saja ciri khas warga desa selalu lekat yaitu keramahan. Walaupun TPS nya tidak bersolek seperti TPS lainya yang jelas antusiasme warga dalam memilih lumayan banyak. Hingga akhirnya satu persatu saya mintai waktu untuk mengisi angket.

Lucunya beberapa orang muda justru menolak ketika diwawancarai. Mungkin mereka takut dengan data yang diberikan pada kami. Tapi beberapa responden usia sepuh justru sangat membantu kami di lapangan. Walaupun saya sempat ditolak oleh beberapa responden yang jelas hingga pukul 10 siang exitpoll selesai saya tunaikan. Exitpoll ini adalah wawancara di mana kita dapat mengetahui perilaku pemilih sejak pemilu tahun lalu dan relasinya dengan saat ini.

Setelah semua usai saya istirahat untuk mencari makan siang. Ternyata hampir semua warung makan tutup. Saya pun menahan diri untuk tidak santap siang. Saya hanya mampir di masjid al Muslim Desa Dono. Setelah itu jam 13 kembali lagi untuk mengikuti penghitungan suara. Sebelum penghitungan dimulai ternyata saya diminta makan siang bersama panitia dan tuan rumah. Sungguh hal ini tidak saya duga. Tapi mungkin keberuntungan buat saya.

Selepas makan siang acara inti dimulai yaitu penghitungan suara. Penghitungan suara dimulai dari yang tertinggi yaitu Pilpres, DPR RI, DPD RI, DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten. Di bagian inilah saya usai sampai jam 5 sore. Sedangkan di beberapa TPS masih belum selesai. Langsung saja ketika selesai saya laporan ke aplikasi dan pamit undur diri. Selama bertugas itulah saya tentu merasa lega dan bersyukur dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Itupun sempat gugup karena Mas Badrexx hadir memantau ke TPS 011. Walaupun begitu saya akhirnya mendapatkan pelajaran berharga dalam pesta demokrasi 5 tahunan tersebut. Terlebih saya terlibat bersama media jurnalistik mencerahkan seperti Kompas.

Di akhir tulisan ini saya tentu mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu jalankan QC yaitu Pak Sigit (Ketua KPPS Desa Dono), Mas Ikhsan (Ketua TPS 011), Pak Didik (tuan rumah TPS 011), Pak Arif (PTPS), seluruh panitia dan para responden. Semoga kesejahteraan terlimpah untuk mereka semua.[]

the woks institute l rumah peradaban 16/2/24

Dokumentasi foto

















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde