Langsung ke konten utama

Artis, Media dan Hikmah di Balik Skandalnya


Woks

Sebagai seorang manusia biasa dunia artis memang tidak menyuguhkan kesempurnaan. Termasuk manusia secara umum apa ada yang sempurna, tentu tidak ada. Manusia punya sisi gelapnya. Jika manusia tanpa dosa mungkin ia titisan Tuhan yang menjadikanya malaikat. Sejak dulu manusia memang tempatnya salah, lupa dan dosa. Maka tidak aneh kesalahan bisa terjadi kepada siapa saja dan kapan saja termasuk seorang publik figur.

Entah sudah berapa artis yang terjerat kasus kriminal, skandal, narkoba, dan perceraian. Tentu jumlahnya sangat banyak sehingga mengidolakan artis memang harus siap konsekuensi jika sewaktu-waktu mereka berbuat salah. Tentu sebagai seorang fans amatiran akan menganggap bahwa manusia harus selalu benar. Sehingga saat mereka berbuat salah si fans tersebut akan gusar dan malah berbalik menghujatnya. Seharusnya kita bersikap bahwa manusia memiliki masa lalu untuk dimaafkan dan punya masa depan yang harus dijalani.

Jangankan di dunia artis di dunia orang biasa pun kesalahan itu pasti ada. Dunia artis yang glamor memang banyak tantangannya. Seperti halnya popularitas memiliki dualitas semu di satu sisi menyuguhkan kesan kebahagiaan di sisi yang lain ia menenggelamkan. Paradoks dunia interteinment memang selalu demikian ada yang datang dan pergi. Semua ibarat seperti hak guna pakai suatu saat popularitas akan luntur dengan sendirinya.

Jika hanya sekadar mencari panggung tentu mengorbitkan artis lewat media sangatlah mudah. Apalagi jika ditunjang dengan body seksi, tampang kereng dan nama besar pastilah media akan membuntuti kemana orang tersebut berada. Hidup yang demikian pada akhirnya akan membuat kita sengsara. Selama ini orang-orang mengira bahwa harta akan menjamin bahagia, nyatanya tidak. Banyak artis yang bergelimang harta beda, jabatan tinggi, populer, dan berpengaruh justru harus menerima pil pahit berupa skandal atau kasus yang menjeratnya.

Masalah atau kasus yang menimpa para artis sama juga terjadi di dunia lain seperti lembaga pendidikan, lembaga negara, bahkan di masyarakat sekalipun. Pastinya masalah silih berganti datang hanya tinggal bagaimana kita menyikapinya. Masalah tersebut seringkali datang sebagai ujian sekaligus membawa pesan. Maklum saja orang sedang berada di puncak karir pasti akan ada badai menerpa berupa ketidaksukaan dari orang lain.

Contoh paling sederhana misalnya artis yang terkena jerat pidana kurungan penjara karena kasus narkotika, penipuan, pencemaran nama baik, hingga skandal video asusila. Mereka akan mendekam di penjara sebagai konsekuensi mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Selama dalam kurungan tersebut tentu seseorang akan dibina terutama soal iman dan sikapnya. Jika sikap nanti akan memerlukan pembiasaan behavioral sedangkan iman akan dibimbing secara ruhani. Dari pembinaan mental tersebut seseorang akan memunculkan efek jera sekaligus menyisakan traumatik.

Hikmah selama masa kurungan tersebut mereka akan lebih fokus untuk memperbaiki diri. Coba kita bayangkan selama popularitas dan kesibukan menjadwal mereka seolah-olah hidup hanya berkutat dengan materi sehingga ruhani sebagai sebuah kebutuhan inti justru malah terabaikan. Di penjara itulah semoga bisa menjadi sarana meningkatkan spiritual, belajar ngaji, belajar dekat dengan illahi. Di sana pula mereka bisa belajar tentang hidup yang fana ini. Kehidupan yang sesaat lagi penuh tipu daya ini memang bisa di lihat secara objektif hanya dengan sendiri bersamaNya.

Karena ciri manusia modern adalah kekeringan spiritual maka agama bagi kalangan muslim perkotaan sangat diminati. Dari fenomena tersebut muncullah muslim perkotaan yang belajar agama bukan dari akar peradaban melainkan dari media sosial dengan bimbingan dai-dai panggung yang pengetahuan agamanya dikonstruksi media. Sejak saat itulah pertaubatan seorang yang terkena skandal akan rapuh dan bisa saja sesaat melakukan hal yang sama. Walau demikian setidaknya kurungan di balik jeruji besi mampu menjadi tempat pendidikan sekaligus pembinaan mental agar mereka menjadi manusia yang lebih baik. Ibarat ulat yang merubah dirinya menjadi kepompong dan bertransformasi menjadi kupu-kupu alias manusia baru yang penuh kesadaran religius.

the woks institute l rumah peradaban 10/01/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde