Langsung ke konten utama

Memulihkan Persepsi Orang Naik Pesawat


Woks

Kecelakaan pesawat kembali terjadi kali ini menimpa maskapai Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 tujuan Jakarta-Pontianak. Tentu kejadian ini tidak hanya sekali melainkan begitu sering terjadi di negeri ini. Menurut catatan Aviation Safety Network, Indonesia menjadi negara dengan torehan terbanyak dalam kasus kecelakaan pesawat di Asia tenggara, setidaknya 153 kecelakaan fatal dari total 3.039 korban meninggal sejak 1946 hingga 2020. Data tersebut berbanding terbalik dengan citra perusahaan penerbangan yang terus membaik. 

Dari serangkaian kasus kecelakaan pesawat tersebut tidak hanya kondisi dalam negeri, media asing pun turut menyoroti kasus tersebut terutama perusahaan maskapai yang memproduksi pesawat. Tentu yang sering kita tahu adalah pesawat buatan Boeing milik Amerika. Beberapa media asing pun menyebutkan bahwa banyak faktor di Indonesia mengapa sering terjadi kecelakaan pesawat di antaranya yaitu faktor geografis, cuaca, ekonomi, kondisi pesawat, hingga human error termasuk regulasi yang belum tertata.

Baik kecelakaan pesawat tunggal maupun mengangkut penumpang tentu hal itu akan menimbulkan trauma bagi banyak orang yang biasanya menggunakan moda transportasi udara ini. Orang-orang menjadi ngeri ketika ingat kejadian yang memilukan itu. Sehingga pihak maskapai akan terus bekerja untuk memulihkan persepsi masyarakat bahwa tidak semua kecelakaan pesawat terjadi setiap waktu. Bahkan moda transportasi manapun memiliki potensi yang sama. Sehingga kita ingat satu rumus bahwa terbang mengudara akan bertaruh nyawa, berkendara lewat jalur laut akan menantang maut dan lewat jalur darat tidak menjamin selamat.

Memulihkan orang untuk percaya bahwa moda pesawat aman untuk dikendarai tentu tidak mudah. Karena ingatan kolektif seseorang mudah merekam kejadian yang berbau memilukan. Seperti halnya meyakinkan mental orang dengan penyakit akrofobia karena takut ketinggian tentu perlu pendekatan psikologi yang berkala. Ingatan orang perlu direfresh dengan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain, bimbingan mental, habituasi kepercayaan diri, hingga konseling dan cerita.

Dalam ilmu psikologi trauma tidak hanya karena kekerasan fisik atau mental saja melainkan bisa karena bencana alam, kehilangan seseorang yang dicintai, hingga kecelakaan. Trauma karena kecelakaan misalnya sering kita sebut terkena ganggungan post traumatic stress disorder (PTSD). Gangungan tersebut tentu berdampak pada psikis seseorang yang akibatnya bisa fatal mengganggu pada perkembangan mental dan jiwa. Maka dari itu trauma healing sangat diperlukan dalam menghilangkan segala macam bayang-bayang kejadian tersebut. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan memberi stimulus berupa pemahaman terkait struktur ketakutan. Buat ketakutan tersebut menjadi positif yaitu keberanian. 

Cara lainya bisa juga dengan mengubah cara berpikir mengurangi segala macam persepsi ketakutan lewat Cognitive Behavioural Therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif. Terapi ini mengajak si klien untuk melihat diri sendiri dengan cara yang berbeda, tujuanya untuk menghilangkan stres, depresi, fobia hingga perilaku berlebihan (obsesi) yang disertai perilaku repetitif (kompulsif).

Selain melalui pendekatan psikologi, pemahaman dengan kaidah agama juga sangat penting. Sehingga orang tidak terjebak dengan teologi Jabariyah bahwa kecelakaan terjadi karena segala tingkah laku manusia memang sudah ditakdirkan Tuhan, atau paham Muta'zilah bahwa segala kejadian itu karena ulah manusia sendiri. Sedangkah Ahlussunah atau Sunni selalu menempatkan akal dan takdir beriringan ketika melihat sebuah masalah. Jika konteks kecelakaan Sunni akan berargumen bahwa kita telah berusaha semaksimal mungkin akan tetapi kehendak Allah swt berkuasa atas segalanya. Mari kita berpikir sejenak tanyakan pada diri bahwa semua hal dalam hidup ini mengandung resikonya untuk kita hadapi termasuk ketika memilih naik pesawat sebagai tunggangan yang membawa kita ke tempat tujuan.

the woks institute l rumah peradaban 17/01/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde