Langsung ke konten utama

Ziarah Ke Maqbarah KH Hafidz Baehaqi

 

Woks

Ziarah kubur di kalangan umat Islam, terutama kalangan pesantren merupakan tradisi Islam kerakyatan (folk Islam). Sehingga ziarah tersebut sudah menjadi sebuah rutinitas. Sebagai Nahdliyyin tulen tentu ajaran ziarah adalah salah satu yang saya sukai meminjam istilah Gus Dur nyarkub. Kali ini saya akan menulis tentang perjalanan ziarah ke maqbarah KH Hafidz Baehaqi salah satu kiai kharismatik yang pernah saya temui saat menjadi guru sekaligus rais syuriah MWC NU Haurgeulis Indramayu. 

Pagi itu (4/1/20) suasana masih terasa dingin bahkan kabut putih pun masih begitu tebal menutupi panjangnya jalan. Tapi pagi itu selepas pulang dari ndalemnya Kiai Huda, aku langsung menuju ke pemakaman umum desa Sukajadi tempat di mana bapak disemayamkan. Ya, bapak adalah KH Hafidz Baehaqi (w. 2013) dan aku datang lagi berkunjung ke pusaranya. Suasana hening itu membuatku tak lama langsung memanjatkan doa ku hadiahkan kepada beliau dan para ulama.

Tak terasa saat doa dan tahlil berkumandang aku sesekali terdiam memandangi siapa yang ada di hadapanku itu. Kadang memang aku merasa rindu di mana sosok teduh seperti beliau sangat dibutuhkan di masa ini. Tapi apalah daku yang tentu tak bisa berbuat apa-apa selain fokus dengan rapalan doa tersebut. Tak terasa pula doa-doa itu menyelinap melinangkan air mata. Entah karena aku memang dekat dengan beliau atau karena beliau memang selalu mendoakan siapa saja.

Setiap tahun setiap aku pulang ke kampung halaman aku beritikad kuat untuk jangan lupa sowan ke pusaranya bapak. Setelah itu datanglah, bersilaturahmi kepada dzuriyyah beliau dan kerabat sahabatnya. Hal itulah yang dapat terus mendekatkanku dengan beliau. Bahkan setiap kali sowan ke ndalem Kubangsari, Ibu Hafidz atau Bu Umayyah selalu berkata bahwa "terimakasih sudah masih mau berkunjung ke sini, walaupun bapak sudah tidak ada". Aku terus berharap kini, esok dan nanti akan ingin terus bersambung dengan beliau.

Saat di depan pusara beliau aku sesekali mengenang masa di mana kami pernah berjumpa walau sesaat. Masa di mana aku tidak lebih tahu ketika beliau tiada. Kini masa hampir sewindu kita berpisah justru bapak nampak selalu di hati. Sesekali aku pun terbersit ingin sekali menuliskan biografi beliau karena saking banyaknya cerita yang aku dapatkan dari murid dan para sahabatnya. Tulisan tersebut nantinya tidak hanya jadi dongeng tapi jadi rujukan orisinil agar kita bisa belajar dari kehidupan beliau.

Di tahun ini cerita tentang beliau tentu lebih banyak lagi. Walaupun beliau bukan tokoh nasional tapi wawasan beliau sudah melewati itu. Semasa hidup tak lain diri beliau diwakafkan untuk perjuangan Islam, dakwah lewat NU. Jika mendengar kata NU yang kuingat adalah mata pelajaran ke-NU-an dan saat itu beliaulah yang mengajari kami. Di pusara beliau aku berdoa lalu berdiri melantunkan mahalul qiyam berharap syafaat Rasulullah SAW turun kepada beliau. Tak lupa pula sesekali aku lantunkan lagu انشودة نهضةالعلماء di hadapan beliau. Entah aku PD saja walaupun mungkin di alam sana beliau berkata "itu lho, mahrojnya kurang tepat". 

انشودة نهضةالعلماء
نحن نهضيون اندونونيسا * حبلن الاسلام ديننا
نحن فى النصوف نسوى * اعلاءكلمةربنا
دفعنا الوطن * ابتعاءالرضا * بقيادةالعلماء
هيا ننتمالى * نهضةالعلماء فى نيل المن
رحمةعممة * بلدةطيبة * مع غفران ربنا ٢×

Setelah selesai ku hadiahkan fatihah maka aku pun mengakhiri salam kepada beliau. Tapi inti dari curhatanku adalah bahwa saat ini dunia semakin panas. Aku mengadu kepada beliau bahwa termasuk di NU pun masih banyak orang yang punya kepentingan bukan karena dasar rakyat tapi kelompok dan diri sendiri. Padahal dulu Gus Dur berjuang bukan hanya tentang NU tapi lebih luas lagi untuk Indonesia.

Saat ini pula kita sedang dalam suasana pandemi. Suasana di mana-mana orang merasa gusar bahkan banyak mengeluh. Keadaan tersebut memang kenyataannya bahwa kita sedang berjuang melawan virus Covid-19. Pandemi ini adalah keadaan di mana bapak tidak menjumpainya. Akan tetapi jika beliau ada pasti akan berkata, "wes sing sabar wae, dilakoni wae kanti ikhlas". Bagaimanapun keadaannya kita memang harus tetap optimis, kita harus tetap berkhusnudzon kepada Allah. Barangkali ini adalah pelajaran agar kita tetap Istiqomah dalam ibadah, semangat dalam muamalah dan bergegas dalam mutholaah.

Hari ini bertepatan dengan Harlah NU yang ke 95 versi tahun masehi, aku menulis khusus mengenang beliau sebagai sosok yang istimewa. Andai beliau masih hidup mungkin kita akan berjumpa di acara yang digagas untuk memperingati hari besar Islam. Semoga saja semangat dan perjuangan beliau bisa terus kita rawat sebagai warisan berharga bahwa di manapun tempatnya perjuangan demi Islam dan ahlussunah wal jaamah harus dilakukan dengan ikhlas penuh pengorbanan. Pak, selamat Harlah NU, doa kami untuk panjenengan, doakan kami juga semoga ikhlas berkhidmah dan selamat sampai tujuan liilaai kalimatillah wa mardlotillah.

the woks institute l rumah peradaban 30/01/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde