Langsung ke konten utama

Sebuah Puisi Kecil

   (doc pen. Mushola Syeikh Basyaruddin)

Mencari Tuhan

Woks

Tuhan
di mana Engkau?

Apakah selama ini Aku tak tampak?

Tuhan
di mana aku mencari Mu?

Apakah selama ini Aku menghilang?
tanyakan pada ruang hati mu

Apakah kau memujaku hanya karena kau konsepsikan sendiri. Bukankan hal itu sama dengan kafir, kata Hujwiri.

Kau tak perlu susah, resah dan gelisah karena Aku menyusahkanmu.

Kau cukup hayati dzatKu. Ia tersebar memenuhi jagat ini. Bainal arsy wal maghrib.

Jika kau kehilangan Ku niscaya bukan Aku yang pergi tapi kau yang lari.

Jika ku tak mengetahuiKu niscaya bukan Aku yang menghilang tapi kau yang tak mengerti.

Padahal aku tak ke mana. Sekali lagi, tanyalah ke ruang hatimu


Layang-layang Kehidupan

Aku melihat anak-anak riang gembira
menggembalakan layangannya ke atas langit
menerbangkan setiap cita dan harapan.

Seraya berkata:
Semua telah menjadi beton, bumi semakin sempit, kembalikan tanah kami.

Mereka seketika bermuram durja
Seolah-olah angin menghembuskan kebencian kepada para manusia gurita itu agar mereka berhenti mencaplok tanah kami.

Bola-bola yang leluasa ditendang kini berubah ketakutan. Mereka khawatir dengan kaca rumah yang mengelilingi lapangan, juga takut mengenai pengendara yang lalu lalang di pinggir jalan.

Kami bingung setiap layangan terbang membawa harapan seketika itu juga harapan itu sirna. Benangnya terputus dihempas gelombang ketidakpastian. Hidup kita menjadi terombang-ambing. Lalu kemana lagi kita mengadu.

Tanah yang luas itu kini menyempit. Sawah-sawah berubah perumahan elit yang ekslusif. Hingga layangan kami malu dengan siapa mereka bertamu. Untuk sekadar menyapa pun akhirnya tak mau. Dunia memang cepat berubah.

Kawan, apakah ini yang disebut globalisasi. Suatu fase waktu cepat dan memisahkan pertemanan kita.

Mari kita atur lagi pertemanan kita yang hangat seperti dulu. Biarlah layangan itu pergi asal bayangan kita abadi.

Stasiun 

Di saat aku pergi desing suara lonceng mengakhiri pertemuan kita.

Padahal rasa begitu sendu tapi aku mencoba menahannya.

Aku menyadari bahwa pergi adalah pelajaran tentang pulang lagi.

Di saat aku pulang desing suara sirine datang lagi, menyambut dengan rindu.

Harumnya pertemuan begitu terasa bahkan bercampur haru.

Aku pun menyadari bahwa stasiun membawaku pergi dan kembali.

Persimpangan Jalan

Di persimpangan jalan Aku menunggu engkau pulang dari mengaji
Dikenakanya pakaian serba putih dengan balutan kain bermotif bunga membungkus diri mu nan sederhana
Sambil memeluk kitab kau senandungkan shalawat
Ku lihat pemandangan itu nampak begitu sejuk

Keesokan harinya Aku berdiam di antara persimpangan jalan
Ku tunggui engkau tapi tak kunjung datang
Kemana engkau pergi, apakah kau berbalik arah
Aku hanya mendengar saut-saut lantunan shalawat membuai merdu
Tapi engkau yang putih jernih itu tak juga nampak
Aku mulai gusar melihat penyejuk hati pergi entah kemana

Setangkai doa telah ku petik menebarkan salamku kepadanya
Hari semakin aneh, persimpangan jalan semakin bising
Kabut tebal dan asap kendaraan memalingkan penglihatan ku
Aku bertanya di mana sang merpati yang memberi kabar itu
Aku bergumam di mana engkau yang selalu hadir di sini
Ahh, entahlah aku hanya bayang-bayang

Persimpangan jalan di sanalah aku meninggalkan kenangan kecil berupa serbuk kerinduan
Ia akan terus tersemai, bersemi bersama engkau yang selalu memeluk kitab dengan balutan pakaian putih berhati salju
Aku merindumu.

the woks institute l rumah peradaban 3/1/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde