Langsung ke konten utama

NU dan Upaya Merawat Pluralisme


Woks
Beberapa saat yang lalu kita dikagetkan dengan penelitian Muhtadi dan Mietzner yang mengatakan bahwa pluralisme di tubuh NU itu hanya utopis alias mitos. Hal itu berdasarkan bahwa setiap masalah yang dihadapi selalu berkaitan dengan tindakan yang intoleran. Bagi kalangan NU struktural mungkin tidak tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa NU akar rumput masih melakukan penyimpangan itu.

Pernyataan dari dua peneliti tentang pluralisme NU tersebut bisa benar bisa juga salah sebab tidak semua orang sepakat dengan mereka. Bisa benar karena memang NU akar rumput masih labil alias belum dewasa ketika melihat permasalahan. Mereka masih di bawah kendali tekanan nafsu dan minimnya pengetahuan. Perbedaan masih dimaknai sebagai suatu yang salah sehingga tindakan mereka dianggap sebagai perwakilan atas kebenaran.

Publikasi dua peneliti tersebut tidak selamanya benar karena mereka masih membaca Indonesia khususnya warga NU secara parsial. Sehingga kaca mata dalam menarik kesimpulan masih terkesan subjektif. Mereka hanya memandang bahwa pluralisme adalah bagian yang keliru dari sistem berdemokrasi. Padahal nilai-nilai pluralisme tersemat dalam demokrasi itu sendiri. Seharusnya mereka membaca ulang tentang sejarah bahwa NU telah mengawal pergerakan sekaligus mencontohkan bagaimana pluralisme telah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Artikel Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi, “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia”, yang terbit dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 41, No. 1, 2020 tersebut ternyata oleh banyak ahli juga mendapat kritikan. Salah satu yang menarik yaitu analisis dari Amin Mudzakir dan Supriyansyah. Setidaknya ada 3 point catatan untuk artikel tersebut di antaranya pertama, peneliti tersebut hanya melihat permasalahan dari satu sudut pandang yaitu ekonomi politik. Kedua, mereka menganggap terjadinya disharmoni antara NU elit dan NU alit alias kalangan akar rumput. Ketiga, mereka dianggap telah mendemoralisasi kalangan aktivis NU yang selama ini telah berjuang dalam menyemai bibit perdamaian dan toleransi umat beragama.

Mereka tidak menyadari bahwa peranan dalam mengupayakan penegakan toleransi dan pluralisme sudah dijelaskan sejak lama terutama yang paling menonjol ketika era Gus Dur. Di era Gus Dur hak-hak minoritas dibela, informasi terbuka, arus dialogis sehat, umat beragama diakui, keyakinan diwadahi dan banyak lagi kerja-kerja kemanusiaan ala Gus Dur. Gus Dur lewat NU terus berupaya mengkader generasi muda lewat IPNU, IPPNU, Fatayat, Anshor, MATAN dan organisasi lain-lainnya untuk terus merawat NKRI, bersikap toleran, saling menghargai dan saling menghormati. Saling menghormati dan menghargai karena berbeda tersebut seperti pernah dicontohkan oleh KH Hasyim Asy'ari dan KH Faqih Maskumambang (soal bedug dan kentongan), KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri (soal hewan kurban), serta banyak tokoh lainya yang mencontohkan hal yang serupa.

Sebenarnya internalisasi pluralisme bukan semata Gus Dur, justru NU telah merawat kemajemukan sejak lama. Akan tetapi harus diakui memang, lewat Gus Dur lah ajaran pluralisme semakin santer digaungkan menemukan titik temunya. Hal yang paling mendasar karena Islam mengajarkan rahmatannl lil 'alamien termasuk pesan qur'an bahwa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah untuk membangun persaudaraan bagi seluruh umat (QS. al Anbiya (21):107). NU menganggap bahwa semua orang adalah saudara karena itu berbeda sudah pasti yang belum pasti itu bagaimana cara merukunkan perbedaan. Karena kerukunan memerlukan perjuangan untuk merawatnya. Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah berkata yang sekaligus dalil bahwa jika kita bersaudara bukan karena iman toh kita bersaudara karena sesama manusia.

Yang perlu dicatat juga yaitu bahwa perjuangan merawat pluralisme memerlukan sikap kearifan. Salah satu kearifan tersebut tergambar lewat sikap kritis aplikatif contohnya saat Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935. NU telah memutuskan bahwa nama Hindia Belanda (nama Indonesia dulu) tidak memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Akan tetapi umat Islam harus tetap wajib membela negaranya meskipun negara tidak berbentuk negara Islam (M. Bakir, 2010). Sikap NU itulah menjadi pelajaran buat kita semua bahwa kerjasama, persatuan dan dialogis sangat penting disemai. Karena esensi dari merawat perbedaan adalah mewujudkan kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil makmur. Dengan cara persatuanlah sebuah jurus jitu menggapai sebuah tujuan.

Kedepanya pluralisme yang sudah dibangun sejak lama ini masih akan terus menemukan lawanya yaitu puritanisme, fundamentalisme, konservatisme, radikalisme, terorisme dan sikap sumbu pendek lainya karena menerjemahkan ajaran agama secara keliru. Semoga saja NU masih tetap semangat merajut kebhinekaan ini sampai kapanpun. Modal NU adalah kecintaan kepada kemanusiaan dan keindonesiaan sekalipun usaha tersebut tak pernah dihargai.

the woks institute l rumah peradaban 29/01/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde