Langsung ke konten utama

Kontroversi KB dan Sikap Optimis Masyarakat


Woks

Jika membincang Keluarga Berencana atau KB tentu kita mengingat Orba sejenak. Ya memang KB adalah program peninggalan Orba yang tujuannya untuk menekan populasi pada kependudukan. Padahal sekitar tahun 1950an di era Soekarno pembatasan jumlah anak melalui KB merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan bahkan sampai ada dendanya. Seiring berjalannya waktu tumpuan kepemimpinan berubah ke Soeharto. Nah, di sanalah sejarah berubah bahwa program KB menjadi penting karena dua hal, pertama menekan angka kematian ibu & anak dan kedua, menekan jumlah populasi. Lantas kita bertanya bagaimana dengan orang saat ini yang anaknya banyak. Atau kita ingat bahwa Soeharto sendiri pun memiliki 6 anak yang tentunya Kontradiksi dengan KB itu sendiri.

Mari kita ambil contoh ustadz kondang satu ini yaitu Ustadz Yusuf Mansyur dengan 5 anak. Beliau tidak menerapkan KB. Berarti secara prosedural sebagai warga negara beliau kurang taat, karena beliau memiliki anak lebih dari dua. Tapi walaupun anaknya banyak putra-putri beliau semua para penghafal Qur'an. Dan kita tahu Yusuf Mansyur adalah ustadz yang cukup berpengaruh di negeri ini sebagai seorang dai dan entrepreneur top dari kalangan muslim. Ia juga menjadi role model kaum muslimin di Indonesia sebagai figur mandiri dalam ekonomi dan agama.

Ada istilah banyak anak banyak rezeki. Pepatah ini menyiratkan bahwa anak akan membawa rezekinya tersendiri. Maka ini adalah janji Allah untuk tidak usah khawatir akan rezeki. Bahkan setiap binatang melata pun sudah dijamin rezekinya. Mungkin saja di balik putra yang banyak itu beliau UYM mencontohkan kepada kita untuk tidak hanya mencetak kuantitas tapi kualitas.

Pro kontra KB memang memang tak akan berkesudahan terutama di kalangan akar rumput dan pesantren. Tapi bagi aktivis ekologi KB sangat didukung karena salah satu dasar mereka adalah teori Robert Malhtus yaitu semakin banyak populasi maka semakin banyak pula makananya. Dan kita tahu soal makanan pastinya alamlah yang akan jadi korban. Jadi dengan KB kita punya upaya preventif untuk merawat alam lebih lama.

Bonus demografi memang berdampak kepada banyak hal terutama alam. Kita lihat lahan makin sempit, hutan dieksploitasi, lautan direklamasi, gunung tergusur, sampah over load dll. Bahkan dulu ada wacana ekstrim menerapkan "game of thrones" yaitu membunuh sebagian populasi manusia terutama usia yang tidak produktif. Jika kita membaca problem ini tentu akan geleng-geleng kepala "dunia memang gila".

Bagi kalangan pesantren anak banyak tujuanya adalah agar Islam berkembang di mana-mana, pesantren terus lestari dan kebaikan terus tersiarkan. Anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah swt. Jika kita menolak kehadiran anak apalagi membatasinya lalu apa kata dunia, ini justru melanggar HAM. Atau paling jauh kita bertanya lagi apakah punya anak banyak hanya untuk mereka yang secara ekonomi mampu untuk menghidupi anak-anaknya. Tapi ada pula orang biasa, kerja serabutan, hasil pas-pasan, hidup di emperan tapi bisa menghidupi 8 atau ada yang 12 anaknya. Di sinilah kuasa Allah swt berperan agar kita senantiasa belajar. Lalu bagaimana selanjutnya memilih banyak anak atau 2 anak cukup seperti KB. Entahlah, bagi jomblo tak usah mikir anak, berpikir tentang pasanganya saja dulu belum kesampaian. Perjuanganmu masih panjang, mblo.

the woks institute l rumah peradaban 4/1/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde