Langsung ke konten utama

NU dan Cita-cita Kebangkitan Petani


Woks

Beberapa waktu saya menyempatkan sowan ke ndalem kiai Wawan Setiawan pengasuh PP Nasy'atul Wardiyah Kertanegara-HGL Indramayu. Saya dan beberapa kawan disambut hangat oleh beliau dan tentunya kita ngobrol seputar banyak hal utamanya NU, shalawat, pergerakan, pesantren dan segala macam strategi menghadapi modernisasi ini. Salah satu topik menarik dari diskusi kami kala itu adalah tentang sejarah NU yang makin hari semakin berlalu. 

Menurut kiai Wawan dua hal yang hampir tidak didengungkan lagi di kalangan Nahdliyin yaitu tentang Taswirul Afkar (nahdlatul fikri) dan Nahdlatul Tujjar. Dua wadah pergerakan ini padahal merupakan cikal bakal berdirinya NU. Tapi saat ini kita hampir saja tidak mengkajinya secara lebih jauh dan mendalam. Tentu kita ingat bahwa organisasi Taswirul Afkar merupakan wadah di mana para tokoh, kiai, ulama dan santri mewadahi pikiranya di sini. Mereka berdiskusi membahas tentang beragam hal yang fungsinya untuk memecahkan masalah. Taswirul Afkar menjadi lokomotif di mana kaum santri juga mampu berkontribusi lewat pemikiran progresifnya dan kita tahu tokoh utamanya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah. Mbah Wahab mendirikan Taswirul Afkar (1918) karena terinspirasi dari kajian diskusi Sarekat Islam (1912) di bawah komando HOS Cokroaminoto.

Sebagai masyarakat yang mayoritas mata pencaharian adalah tani, nelayan dan berdagang tentu kita tidak mengenyampingkan peran Nahdlatul Tujjar atau kebangkitan saudagar NU. Organisasi ini semacam gagasan untuk mewadahi para pedagang dalam memberdayakan ekonomi salah satunya lewat syirkah atau perkoperasian. Nahdlatul Tujjar hadir sebagai lokomotif pergerakan lewat jalur niaga seperti pendahulunya yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) yang digagas oleh Haji Samanhudi seorang saudagar batik dari Surakarta pada 1905. Yang tak kalah penting yaitu kehadiran Pertanu atau perkumpulan petani NU. Pertanu atau Syirkatul 'Inan adalah wadah petani dalam memberdayakan pertanian hingga nelayan.

Mari kita beranjak sejenak kepermasalahan pertanian. Saat ini terutama bagi petani bahkan sudah sejak lama istilah kesejahteraan petani masih semu. Entah sampai kapan yang jelas petani sebagai representasi wong cilik selalu saja merasakan pil pahit. Sudah lama petani tidak pernah merasakan regulasi yang berpihak kepada petani, pupuk non-subsidi mahal, kelangkaan pupuk selalu terjadi, subsidi yang tak merata, minimnya lahan, monopoli lahan, permainan harga, hingga politisasi bantuan dan lainya sebagainya.

Kita tentu tahu saat kepemimpinan Soeharto petani kita sempat merasakan atmosfir swasembada beras tahun 1984. Swasembada tersebut tak lain karena gerakan revolusi hijau di mana pemerintah orde baru mengatur sedemikian jauh agar petani satu komando di bawah rezim tersebut. Pada saat itu petani wajib menanam satu jenis padi yang digadang-gadang menghasilkan benih unggul. Benih-benih itu diimpor dari luar negeri salah satunya varietas hibrida Jepang dan Cina. Hasilnya mungkin luar biasa tapi dampaknya hingga kini sangat terasa. Karena penggunaan pupuk yang over saat ini tanah garapan petani sudah tidak sehat lagi dan hal ini sangat sulit untuk meremajakannya. Proses peremajaan tanah perlu waktu karena zat kimia masih terkandung di dalam tanah bahkan mencemari unsur hara tanah itu sendiri.

Permasalah seputar landreform dan dunia pertanian memang sudah dibahas sejak lama bahkan sebelum rezim orba berkuasa. KH Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin tertinggi pada saat itu dibantu bendaharanya KH Abdul Wahab Hasbullah sudah memikirkan nasib petani kedepannya salah satunya dengan mendirikan koperasi Syirkatul 'Inan. Lewat tulisan di Soera Moeslimin Indonesia (1941) KH Hasyim Asy'ari mengatakan bahwa petani adalah penolong negeri. Sehingga karena alasan itu petani dan sektor pertanian harus diperhatikan. Lebih jauh saat ini NU harus terus berupaya keras agar cita-cita kesejahteraan terhadap petani bisa terwujud sesuai amanat para pendahulu.

Saat Muktamar ke XX 13 September 1954 di Surabaya, NU berkontribusi dalam melahirkan Pertanu dan diakhir ini kita menyebutnya dengan LPPNU atau lembaga pengembangan pertanian NU. Tujuan didirikannya lembaga tersebut tentu tak lain adalah sebuah upaya hadirnya NU untuk petani sebagai sarana perlindungan, pendampingan, kolaborasi, edukasi hingga advokasi. Pada Munas di Lampung (1992) dan Lombok (2017) misalnya, NU juga menegaskan pentingnya pemberdayaan ekonomi umat dan pertanian. 

Di era kekinian yang notabene keadaan telah masif oleh teknologi petani masih saja terbelakang. Cara menggarap lahan dengan konvensional masih menjadi andalan. Akan tetapi permasalahan tersebut tidak begitu vital. Saat ini seperti juga terjadi dulu petani akan berhadapan dengan sistem yang mudah berubah salah satunya kebijakan impor beras, perlindungan petani yang belum maksimal, regulator nakal hingga penyempitan lahan. Salah satu problematika petani telah tergambar lewat syair KH Bukhari Masruri atau Drs Abu Ali Imron pencipta lagu-lagu Nashida Ria Semarang.

Penduduk makin banyak, sawah ladang menyempit
Mencari nafkah smakin sulit
Tenaga manusia banyak diganti mesin,
Pengangguran merajalela
Sawah ditanami gedung dan gudang,
Hutan ditebang jadi pemukiman
Langit suram udara panas akibat pencemaran

Permasalahan petani kian hari memang semakin komplek akan tetapi apakah kita hanya berdiam diri dan hanya berpangku tangan kepada pemerintah. Sepertinya tidak. Kita perlu berupaya bersama lewat kelompok tani, aktivis tani, paguyuban masyarakat dan perkumpulan lain untuk terus berkarya. Kita tentu ingat Ir Surono Danu sang penemu varietas padi lokal nan unggul (Sertani 13 & MSP) yang tempo hari memberi motivasi bahwa petani harus mencapai kemandirian pangan/kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan. Jika yang dimaksud ketahanan pangan hanya karena stabilitas harga atau menekan kadar impor beras hal itu sama saja seperti era orba. Menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, indikator kedaulatan petani (IKP) setidaknya disusun berdasarkan empat pilar kedaulatan pangan yakni, pertanian berkelanjutan, sistem pangan lokasi, perdagangan yang adil dan akses terhadap sumber daya produktif atau pembaruan agrarian.

Dari semua pemaparan tersebut saat ini apakah kita sudah terbuka untuk bersama petani membangun Indonesia. Termasuk mewujudkan kedaulatan petani seperti cita-cita NU tempo hari tentang reforma agraria. Semoga saja Allah mendengar i'tikad baik kita. Untuk memompa semangat mari kita menyanyikan lagu wajib petani Serumpun Padi karya R. Maladi.

Serumpun padi tumbuh di sawah,
Hijau menguning daunnya

Tumbuh di sawah penuh berlumpur,
Di pangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci,
Hidupnya nista abadi

Serumpun padi mengandung janji,
Harapan ibu pertiwi

nb: tulisan ini dioleh dari berbagai sumber, salah satunya Ahmad Nashih Luthfi Sejarah dan Revitalisasi Perjuangan Pertanian NU Melawan Ketidakadilan Agraria, Jurnal Bhumi. vol.3 no.2 November 2017.

the woks institute l rumah peradaban 27/01/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde