Langsung ke konten utama

Kiai Bahauddain




Woks

Sebelum Gus Baha terkenal atau populer seperti saat ini sebenarnya saya tidak mengenal siapa beliau. Hingga akhirnya di periode akhir menjadi mahasiswa seorang kawan sering menceritakan ada manusia yang jika mengaji qur'an sangatlah detail. Selain itu orangnya tidak ingin dipublikasikan oleh media. Pada saat itu kawan saya memberikan beberapa file mp3 kumpulan ceramah Gus Baha. Tentu dengan penasaran saya langsung browsing siapa sebenarnya Gus Baha itu. Saya mencari hanya ketemu beberapa foto yang tentunya belum semudah saat ini. Jangankan mencari petuah beliau dalam penggalan quote untuk mencari di YouTube pun kita tak akan jumpai. Tapi satu tahun kemudian kita lihat beliau menjadi salah satu pendakwah dengan peminat terbanyak baik secara online maupun langsung di lapangan. Gus Baha memang layak menyandang Da'i of The Year 2020 (versi ADDAI).

Sebelum Gus Baha populer saya justru lebih kenal dengan sosok Kiai Baha alias KH Bahauddain Mudhari. Nama Kiai Bahauddin merupakan sosok kiai yang sering diceritakan saat perkuliahan oleh Prof Mujamil Qomar (Guru Besar IAIN TA) karena kemampuannya yang cemerlang. Pada saat itu saya juga penasaran dan browsing siapa sesungguhnya Kiai Bahauddin Mudhari tersebut.

KH Bahauddin Mudhari merupakan kiai kharismatik asal pulau garam yang lahir di Sumenep, Jum’at 23 April 1920. Beliau merupakan tokoh Muhammadiyah pada masanya. Orang dengan segudang talenta dan tentu yang saya ingat adalah cerita bahwa beliau juga seorang kristolog alias orang yang memahami seluk-beluk ilmu agama Kristen. Cerita paling terkenal tentu ketika beliau menang debat melawan misionaris Antonius Widuri yang membincang tentang Nabi Isa, Yesus dan Islam. Kesimpulan dari debat terbuka tersebut membuat Antonius Widuri mengaku kalah dan langsung memeluk Islam. Perdebatan di muka umum tersebut menjadi daya tarik tersendiri dan memang masih terdokumentasikan dengan baik hingga hari ini. KH. Bahaudin Mudhari, berpulang ke rahmatullah Selasa, 4 Desember 1979 di Surabaya.

KH Bahauddin Nursalim adalah kiai kharismatik asal Narukan, Kragan Rembang Jawa tengah. Beliau lahir 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Secara formal beliau tercatat sebagai Rais Syuriah PBNU. Gus Baha yang merupakan santri kinasih Syaikhuna KH Maimun Zubair tersebut juga sangat mengagumkan dalam hal menguasaan kitab-kitab dan tentunya hafidz (penghafal Qur'an). Orang yang terkenal sederhana itu dikenal orang sebagai mufassir alim fakih begitu pula yang diungkapkan oleh Prof Quraish Shihab (Pendiri Pusat Studi al Qur'an dan penulis tafsir al Misbah).

Gus Baha dan Kiai Baha sama-sama pecinta ilmu. Beliau tentu menguasai ilmu sesuai dengan bidangnya. Jika Gus Bahauddin Nursalim tentu kajianya adalah tafsir al Qur'an, hadits dan fikih sedangkan Kiai Bahauddin Mudhari adalah fikih, metafisika dan kristologi. Perbedaan lainya ialah Gus Baha adalah tokoh NU dan Kiai Baha adalah tokoh Muhammadiyah. Gus Baha tidak pernah mengenyam pendidikan formal selain dididik oleh ayahnya (KH Nursalim) dan mondok di bawah Syaikhuna KH Maimun Zubair (Sarang). Sedangkan Kiai Baha belum pernah mondok akan tetapi hanya pendidikan formal yaitu Kweek School Muhammadiyah di Yogyakarta (1940). Beliau berdua juga sama-sama memiliki karya, jika Gus Baha di antaranya tafsir al Qur'an versi UII, beberapa kitab yang menjelaskan tentang Rasm Usmani dll sedangkan karya Kiai Baha di antaranya Buku Dialog Ketuhanan Yesus (jilid 1), Bukti Kebenaran Bibel (jilid 2) serta buku yang mengupas metafisika, beliau juga tercatat sebagai komposer yang juga mahir bahasa asing seperti Jerman, Inggris, Arab, Jepang, Belanda, Prancis dll. Mereka berdua sama-sama humoris dan dekat dengan masyarakat.

Beberapa pesan dari Kiai Baha yang perlu kita catat sebagai petuah hidup di antaranya didapat melalui parigan (pasemon Madura) "Jangan sesekali meninggalkan shalat, selalu rukun dan memelihara tali silaturahim, serta jangan berebut harta pusaka, usahakan setiap malam shalat lail (Tahajud)." Sedangkan pesan Gus Baha di antaranya "Kita ini mudah mencintai orang yang berjasa dalam hidup kita, tapi kenapa tidak mudah mencintai Allah yang jasa-jasanya sangat besar dalam hidup kita", dan "Di akhirat, kenangan yang paling indah di dunia adalah, seberapa sering kita sujud kepada Allah SWT".

*Gus Baha = KH Bahauddin Nursalim
*Kiai Baha = KH Bahauddin Mudhari

*Refleksi penulis
Jika KH Bahauddin Mudhari wafat tahun 70an dan pada tahun 70an itu juga KH Bahauddin Nursalim lahir. Hal ini seolah-olah menjadi teori bahwa ilmu dan Islam selalu dijaga oleh pemiliknya Allah swt. Kita ambil contoh sekitar 150 H hari itu Imam Abu Hanifah wafat dan di tahun itu pula Imam Idris as Syafi'i lahir. Begitu pula di awal abad-15 konon pada tahun 1492 M kerajaan Islam di Andalusia berakhir ke tangan penguasa Katolik tapi di tahun sebelumnya sekitar 1475 M kerajaan Islam Demak berdiri.

*Artikel ini di olah dari berbagai sumber:
pwmu.co
laduni.id
matamaduranews.com
republika.co.id

the woks institute l rumah peradaban 26/2/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde