Langsung ke konten utama

Pertemuan Shubuh




Woks

Apakah kau tak tahu bahwa rembulan bersinar begitu cerah malam itu. Malam yang sungguh istimewa sedang aku tak pernah menemukan malam seindah itu. Ku kira mukjizat Nabi Muhammad saw membelah bulan terulang lagi di zaman ini atau kisah isra mi'raj beliau tereka ulang oleh dunia. Ternyata dugaanku meleset sedikit, saat ini kita memang sedang berjumpa rajab yaitu salah satu bulan yang diistimewakan.

Aku kembali meraba malam itu gelap pekat seolah tiada. Yang ada hanya cahaya bertebaran di antara gulita malam. Aku juga sempat berpikir apakah cahaya itu adalah kepakan sayap malaikat yang memercikan kilau permata. Ataukah itu adalah fajar shadiq di mana benang hitam berpadu benang putih di atas langit. Aku memang tidak akan pernah tahu kebesaraNya yang bagi kalangan astronom sebagai kauniyahnya.

Aku hanya merasa bahwa malam itu wajahmu nampak di angkasa. Seperti halnya Tere Liye menggambarkan bahwa rembulan tenggelam di wajahmu yang ayu. Semua nampak luar biasa selalu saja mengundang kata tanya. Begitulah kiranya pertemuan shubuh waktu di mana transisi merindu antara pagi dan siang. Lalu saat magrib tiba mentari pulang ke kandang adalah transisi kerinduan antara petang dan malam. Keduanya sama-sama merindu dan tidak ingin saling berpisah. Hanya kadang mentari datang lebih awal dan rembulan sedikit kesiangan. Semua seolah menjadi siklus alamiah di mana kita belajar tentang mereka yang rindu tapi malu-malu.

Pertemuan shubuh seolah-olah menjadi simbol kerinduan sekaligus kehilangan. Berapa banyak orang-orang merindu tapi selalu kehilangan momentum. Jika mereka sadar saat bangun shubuh Allah menitipkan banyak sekali kenikmatan. Bahkan saking banyaknya Allah lebih memuliakan shalat sunnah qabliyah shubuh daripada seisi dunia. Di waktu ini pula kita diuji apakah dunia masih layak untuk didewakan. Mungkin saja jawabnya tidak. Dunia sudah tidak secantik dulu kecuali saat ini ia telah bopeng, tercemar, terperosok, panas terbakar dan penuh sengsara. Maka dari itu lihatlah pertemuan shubuh waktu di mana engkau akan bahagia. Merona berseri-seri karena air malam itu begitu segar terasa.

Perlu diingat bahwa rindu itu purba sehingga bagaimana pun tersiksanya menahan rindu ia akan dipertemukan juga. Pertemuan shubuh mengingatkan kita bahwa dunia ini manis dan hijau ibarat buah-buahan segar siap santap. Dan kadang kala kita terlena dibuatnya. Semoga di setiap shubuh kita diperkenankan untuk terbangun melihat fajar berseri di ufuk menyambut pagi yang cerah bersama sumringahnya mentari menyebut asmaNya yang agung.

the woks institute l rumah peradaban 23/2/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde