Woks
Pada 14 Januari 2021 pendakwah kondang Syaikh Ali Jabeer wafat. Ulama asal Madinah yang juga penghafal Qur'an itu tercatat sebagai pendakwah santun berwarganegara Indonesia termasuk juri utama acara tv Hafidz Indonesia. Salah satu wasiat beliau yang kita ingat adalah ingin mencetak generasi qur'ani. Cita-cita beliau tentu perlu perjuangan sejak dini sebab mencetak generasi qur'ani tidaklah mudah. Anak-anak tidak hanya sekadar bisa membaca tapi menghafal dan mengamalkan Qur'annya itu yang penting.
Sebenarnya rintisan mencetak generasi qur'ani sudah sejak lama dilakukan melalui TPA/TPQ, madrasah diniyyah, pesantren, hingga sekolah. RMI PBNU mencatat ada sekitar 1200 TPA/TPQ yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah yang besar itu tidak ditunjang dengan sarana prasarana yang memadai justru dibanyak tempat TPQ beroperasi seadanya. Di sinilah letak kesederhanaan TPQ sebagai lembaga pendidikan pencetak generasi qur'ani.
Beberapa kali saya pun sering berkunjung ke beberapa pelosok desa yang ada di daerah Tulungagung, Blitar, Kediri, Trenggalek dan Jombang. Di sana masih saya dapati banyak sekali anak-anak kecil yang mengaji di TPA/TPQ. Dengan gegap gempita mereka mengaji sekaligus menghidupi masjid mushola dengan syiiran atau puji-pujian. Setidaknya pemandangan anak-anak yang masih memadati masjid mushola untuk mengaji membuat hati bahagia sekaligus menaruh harapan bahwa esok generasi qur'ani masih akan terus lestari. Bahkan ada anekdot jika masjid masih makmur karena banyak anak mengaji setidaknya kiamat masih akan lama.
Bahkan sesekali seorang teman berkata mengapa harus qur'an? mengapa bukan pendidikan modern yang menunjang aktivitas global seperti sains dan teknologi. Bukankah zaman kini menuntut kita bisa bersaing dengan keadaan. Sebenarnya apa yang dipertanyakan teman saya itu tidak selamanya salah. Cuma ia perlu penegasan bahwa pendidikan al Qur'an merupakan sendi sekaligus pondasi dasar agar anak dapat terbentuk karakternya. Bukankah selama ini teknologi lewat piranti hp/gadget misalnya, anak sudah mampu tanpa harus diajari. Akan tetapi mengajari anak mengaji dan menelaah qur'an perlu proses yang panjang harus sejak dini.
Untuk bisa sekadar membaca anak-anak usia dini perlu melewati 6 jilid pengajaran dasar. Pengajaran dasar itu yang lebih familiar kita kenal lewat berbagaimacam metode seperti iqro', yanbu'a, tilawati, qiraati, utsmani, nahdliyah dan lainya. Setelah itu anak-anak akan dibekali ilmu tajwid hingga kelak dewasa menuju qiraah sab'ah dan tingkatan lanjutan lainya. Semua proses itu butuh waktu yang istiqamah sedangkan saat ini godaan anak-anak mengaji semakin banyak salah satunya lewat game dll.
Saya yakin anak-anak tidak akan mampu baca al Qur'an jika cuma mengandalkan gadget. Karena pengajaran al Qur'an perlu talaqqi dengan guru, faham sanad, mengerti ilmunya dan yang pasti adab etikanya. Inilah salah satu yang membedakan pendidikan ala dunia nyata dan dunia maya. Dunia teknologi memiliki sisi menyenangkan sekaligus membuat anak mudah menyerap pembelajaran. Akan tetapi persoalan etika, teknologi tidak mampu melahirkannya. Hanya lewat bimbingan gurulah etika atau moralitas dapat dibentuk. Sehingga lewat kesederhanaan TPA/TPQ lah kita berharap pendidikan dasar qur'an bisa membentuk mental anak yang jujur, ikhlas, sopan santun dan tolong-menolong.
the woks institute l rumah peradaban 17/2/21
Wes pikoknya luar biasa...
BalasHapusMantabek mas woko
BalasHapusSuwun pak hehe
HapusSuwun pak hehe
HapusSiiap suhu :)
Hapus