Langsung ke konten utama

Obituari: Hakim Pemberani itu Berpulang





Woks

Kejujuran itu tidak ada sekolahnya, kejujuran itu tidak bisa diajarkan, tapi harus dihidupkan. Artidjo Alkostar

Genap di usianya yang ke 71 tahun setelah melewati masa sakit hakim Artidjo berpulang. Ya, siapa yang tidak kenal dengan Dr Artidjo Alkostar, S.H., LLM, seorang hakim yang tegas dan pemberani. Tentu ingatan kolektif kita mengenang sosok beliau yang bersahaja itu. Seorang hakim yang telah mengabdikan diri lebih dari 20 tahun untuk penegakan hukum di Indonesia.

Hakim Artidjo tentu kita tahu adalah orang yang berdedikasi tinggi lagi memiliki integritas dan anti suap. Hampir semua media di Indonesia memberitakan kepergian beliau termasuk dari pribadi Mahmud MD selaku Menkopolhukam dan mahasiswa Artidjo saat kuliah di UII Yogyakarta. Selama beliau hidup media talk show Nasional seperti Kick Andy, Catatan Najwa, Satu Indonesia, pernah mengundangnya sebagai narasumber. Tentu bukan tanpa alasan karena Artidjo memang sangat menginspirasi banyak orang.

Artidjo Alkostar yang menduduki hakim agung sejak tahun 2000 itu banyak mendapat julukan dari berbagai kalangan salah satunya Sang Algojo, Si Hakim Pemberani, Palu Tak Bertuan, Sang Pembela hingga Pendekar Hukum dari Madura. Gelar yang nampak serampangan itu justru nampak nyata bahwa ia memang benar-benar ditakuti semua kalangan utamanya para koruptor.

Bagi Artidjo menjadi hakim adalah pilihan hidup atau barangkali menjadi sarana untuk membela yang benar. Sebab bagaimanapun juga ia selalu mengingat pesan bapaknya di Situbondo saat kecil untuk selalu membantu orang lain. Selain itu ia juga membawa pesan untuk selalu ingin memperbaiki citra hukum di Indonesia agar lebih baik di mata masyarakat dan dunia. Baginya hakim itu ketika memutuskan perkara setidaknya harus mempertanggungjawabkan terhadap ilmunya, institusinya, publik dan hati nuraninya. Serta perlu diingat bahwa hakim sebenarnya menghakimi hati nuraninya sendiri sebelum memvonis orang lain.

Orang akan terus mengenang ketika mendengar nama Artidjo karena jasanya besar terutama dalam hal penanganan kasus korupsi. Artidjo dianggap telah sukses mengembalikan marwah hakim agung menjadi lebih, hal itu sekaligus menjadi tauladan kepada yang lain bahwa ia membawa aroma keadilan dalam pekerjaannya.

Bagi Artidjo jadi apapun sama yaitu kerja dan kerja itu tak lain hanya sekadar menyelesaikan tugas. Dia hanya ingin bahwa dalam pekerjaan apapun untuk berarti buat orang lain. Maka dari itu pantas ia mengatakan bahwa kita tidak boleh rakus, sombong dan harus senantiasa jujur.

Kata beliau menjadi hakim itu tidak usah minder apalagi takut. Lawan saja, jika itu benar mengapa tidak. Orang yang selalu mendapat ancaman itu memang selalu nampak benar bahwa semua diserahkan saja kepada Allah. Karena kegigihannya beberapa kali beliau akan diberi penghargaan tapi beliau menolak karena alasan bahwa hakim pantang menerima hadiah. Sebab jika sudah begitu nanti hakim merasa memiliki utang jasa dan tak lagi memiliki independensi.

Anak sulung dari 5 bersaudara itu telah banyak mewariskan keteladanan kepada kita semua terutama keberanian, kesabaran, ketekunan, kesederhanaan dan tentunya pecinta ilmu. Tapi tepat di ujung Februari 2021 manusia yang telah putus urat ketakutannya itu kini berpulang menghadap ke hadirat Allah SWT. Semoga husnul khatimah dan ditempatkan di sisiNya yang mulia. Selamat jalan pak hakim. al fatihah

the woks institute l rumah peradaban 01/3/21

Komentar

  1. Salah satu hakim yang menjadi panutan kami mas.
    Hakim yg tiada dua atau tiganya.
    Semoga amal ibadah beliau senantiasa diterima di sisi-Nya. Tiada balasan untuk sebuah kebaikan & keberanian, kecuali akan dibalas dengan kebaikan yg jauh berlipat.
    Aamiin.

    BalasHapus
  2. Ya Allah. Beliau sangat menginspirasi sekali.

    BalasHapus
  3. Semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah. Sungguh sangat menginspirasi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde