Woks
Menghafal al Qur'an itu tidak mudah tapi jika punya tekad kuat pasti bisa. Adagium tersebut nampaknya menjadi kausalitas bagi para penghafal Qur'an artinya jika ada usaha sungguh-sungguh pasti bisa menghafalkan. Lalu bagaimana dengan ancaman bahwa tidak lebih baik jika menghafal dan pada akhirnya lupa atau hilang. Meminjam istilah Gus Baha lebih baik pernah mencoba menghafal daripada tidak sama sekali. Begitu pula dengan al maghfurllah KHR Najib Abdul Qadir Munawwir beliau sempat berpesan bahwa para huffadz tidak usah takut ancaman neraka selama mereka telah menjaga al Qur'an dengan sekuat tenaga maka jika pun ia lupa Allah akan mema'funya.
Menghafal al Qur'an memang perlu perjuangan yang kuat. Mental dan pikiran akan terus bergesekan lebih lagi godaan eksternal selalu menghantui. Tapi selama ada niat kuat dan keikhlasan pasti semua ada jalan kemudahan. Sebab al Qur'an itu sendiri mudah dan menyenangkan. Semasa KH Hasyim Muzadi sugeng beliau pernah berkata bahwa sekitar 2,4 juta masyarakat Indonesia adalah penghafal Qur'an. Mereka menghafal dengan sukarela tanpa dibayar. Berbeda dengan di luar negeri mereka menghafal karena di bayar oleh pemerintah.
Saat ini menghafal Al-Qur'an nampaknya telah menjadi style terutama masyarakat perkotaan. Karena mereka haus akan spiritual maka harapan terbesar adalah anak-anak bisa menjadi generasi qur'ani. Menghafal al Qur'an kini menjadi bagian dari budaya kita salah satu faktornya karena masifnya berbagai acara yang mengeksplor kemampuan menghafal Qur'an tersebut. Selain mendapat apresiasi yang besar acara tersebut pun menjadi motivasi bagi banyak orang terutama anak-anak. Terlepas dari segala kekuranganya yang jelas al Qur'an menjadi pilihan dalam bercita-cita.
Bagi sebagian orang desa menghafal Al-Qur'an tidak lebih dari mempertahankan keturunan. Biasanya keturunan menjadi faktor utama untuk di teruskan akan tetapi faktor lain pun bisa sangat mungkin seperti hadiah yang di janjikan qur'an dan gaya hidup. Jika demikian apakah masyarakat kita sudah dikatakan telah melahirkan generasi qur'ani? rasanya belum. Untuk menjadi generasi qur'ani tentu indikatornya tidak hanya hafal (hamilul) tapi faham (fahmil) dan perilaku (amil). Yang paling sulit adalah menghayati gaya hidup ala al Qur'an dan kita tahu al Qur'an dalam personifikasi manusia hanya diperankan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Beliau SAW akhlak nya adalah al Qur'an sehingga jika masyarakat kita belum menuju ke sana tentu belum bisa dikatakan masyarakat yang qur'ani. Tapi mencetak generasi qur'ani tidak mustahil, justru kita optimis esok semua cita-cita tersebut akan terwujud. Maka dari itu sejak dini anak-anak kita diajak berdekatan dengan kitab suci mu'jizat Nabi Muhammad saw itu.
the woks institute l rumah peradaban 18/2/21
Selalu keren...
BalasHapus