Langsung ke konten utama

Sufi, Sabyan dan Masyarakat Infotainment




Woks

Sejak media meanstream sering memberitakan kehidupan artis saat itulah dunia privat seakan telah mati. Mungkin gambaran inilah yang sesungguhnya dinarasikan oleh Nietzsche sebagai Tuhan telah mati. Saat ini seiring berjalanya waktu orang mulai cakap berkomentar ke sana kemari secara membabi buta. Bahkan paling ironis seorang guru bisa dihabisi sesaat ketika misalnya typo dalam membuat cuitan. Itulah media sifat aslinya memang seperti srigala yang mana etika telah lebur ketika emosi berkuasa.

Kali ini hampir di layar kaca dan dunia maya selalu memberikan hal-hal yang kini disebut sebagai "yang viral" yaitu kasus Nissa Sabyan. Gadis yang populer lewat lantunan shalawat dalam grup gambus Sabyan itu kini tersandung kasus menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Ayus dan Ririe. Hingga akhirnya Ririe sebagai istri sah Ayus menggugat cerai suaminya karena alasan tidak kuat ketika mengetahui bahwa sang Keyboardis tersebut menjalin hubungan dengan sang vokalis. Di sini saya tidak perlu mengilustrasikan kasus tersebut toh tentu para kaum +62 sudah paham semua bahkan cenderung mencari-cari kesalahan.

Saya hanya ingin melihat dari sisi yang lain di mana lagi-lagi masyarakat kita selalu terhanyut oleh permasalahan serupa. Mereka tidak pernah belajar tentang kasus serupa atau kasus apapun yang selalu diberitakan media. Pertama, masyarakat kita memang telah menjadi manusia infotainment, manusia objek pasar yaitu spesies mahluk yang hidupnya ingin diberitakan atau memberitakan. Ingin diberitakan artinya mereka tidak ingin lepas hal-hal yang sifatnya trending. Mereka selalu ter-up to date tentang sesuatu hal yang ada di dunia maya. Masyarakat tipe ini kata orang Jawa cenderung gupuhan dan gumunan. Artinya mereka bisa saja resah, cemas dan gelisah karena efek mengkonsumsi dunia maya berlebihan padahal fakta di dunia nyata tidak terjadi apa-apa. Lalu memberitakan artinya mereka tidak ingin kehilangan momen mengetahui informasi seolah mereka terlibat di sana. Terlibat dengan kasus yang tidak ada hubungannya dengan kita adalah ciri orang-orang memang belum dewasa.

Kedua, masyarakat atau netizen sukanya memang berkomentar. Mereka tidak menyadari betapa nistanya diri sendiri di mata Tuhan karena lebih mementingkan kehidupan orang lain daripada diri sendiri. Hal ini laiknya seperti pesan Bang Haji Rhoma bahwa "kuman di seberang lautan jelas kelihatan sedang gajah di pelupuk mata tidak kelihatan". Persoalan kesalahan di dunia maya memang tidak bisa ditolerir, orang-orang bisa sangat mungkin bahwa setiap kasus bisa menjadi gelanggang yang empuk menjadi sasaran untuk dikomen atau dihujat. Dunia maya bukanlah tempat hidup yang ramah karena kehidupan sempurna pun bisa saja dibully apalagi yang bermasalah pasti dicaci-maki. Begitulahlah dualitas media yang dengan netijenya bisa sangat mungkin untuk terpuruk, melesat atau bahkan mati tak berdaya. Kita tentu tahu korban bully di media sosial sungguh sangat mengenaskan bahkan banyak yang harus berakhir tragis: bunuh diri. Sekarang apalagi yang akan kita perbuat? mengapa sulit sekali mengkarantina omongan lewat jempol yang liar kemana-mana. Tidak kah kita merasa berpikir bagaimana jika kasus tersebut terjadi pada diri sendiri. Rasanya memang tidak mungkin, sebab media hanya dihuni oleh publik figur. Karena semua hal yang ada di sana cuma untuk kepentingan sesaat berupa: rating.

Ketiga, mengapa pula selalu perempuan yang salah. Di sini saya tidak membela artinya yang salah tetap salah dan yang benar juga benar. Maksud saya di sini adalah mengapa lagi-lagi harus perempuan yang jadi objeknya. Saya masygul jangan-jangan gerakan feminisme yang digemborkan itu hanya sekadar kulit toh faktanya kasus Nissa ini malah justru lebih banyak perempuan juga yang ikut menghujat. Di mana sesungguhnya hati nurani dan keadilan mereka. Padahal sesama gender seharusnya minimal bertindak sebagaimana harusnya. Artinya kita harus berpikir objektif mengapa tidak sempat berpikir itu juga bisa jadi kesalahan lelakinya. Kita tidak paham sejak lama bahwa setiap mata lelaki mengandung bara api yang sekali menyala akan berbunga-bunga atau dalam term Jawa Ngapak ada istilah "wong wadon matane ijo, wong lanang matane jlalatan".

Dalam tataran fisik seorang lelaki bisa saja melabuhkan pilihan ke setiap perempuan, siapapun itu. Sehingga narasi "kenyamanan" tidak dipandang sebagai sesuatu yang aneh. Justru hal itu menjadi wajar secara psikologis sebab pepatah mengatakan "darimana datangnya lintah dari sawah turun ke kali, darimana datangnya cinta dari mata turun ke hati". Coba kita resapi pepatah itu lagi-lagi faktornya adalah pandangan, maka dari itu Islam mendidik agar "lelaki menjaga pandangannya dan perempuan menjaga auratnya". Jika kita flashback faktor dari kasus tersebut tentu banyak di antaranya: si perempuan nampak genit (versi media), si lelaki lupa atau pura-pura padahal ia sudah punya istri, sering berduaan, sering mendapat sweet moment dan lainya. Sehingga darisana api asmara menyala jadi siapa yang salah? yang salah ya tentu yang mengakui atau lagi-lagi "khilaf" lah yang disalahkan.

Dari kasus ini kita belajar atau mari sejenak kita flashback ribuan tahun silam ada Siti Hawa yang dalam sejarah selalu dianggap sebagai faktor utama turunya Nabi Adam as dari surga. Ada juga Siti Julaikha yang juga dianggap sebagai perempuan penggoda kepada Nabi Yusuf as. Perlu dicatat bahwa kesalahan dua orang perempuan yang disebutkan itu tak lain untuk mengajarkan kepada kita bahwa manusia punya sisi basyariah, artinya kesalahan itu pasti ada. Selanjutnya dalam tradisi sufi walaupun perempuan mungkin dianggap sebagai problem tapi dengan perempuan juga seorang lelaki bisa diangkat derajatnya oleh Allah. Pada akhirnya Nabi Adam as pun bisa kembali ke surga juga karena didampingi perempuan yaitu Siti Hawa tersebut. Nabi Yusuf as pun akhirnya menjadi raja juga karena didampingi perempuannya yaitu Siti Julaikha. Sehingga bagi kalangan sufi terutama pandangan Ibnu Arabi' bahwa jika ingin mengenal Allah maka lihatlah kehidupan perempuan. Di sanalah jika kita hayati dengan baik perempuan justru menjadi media taqorrub illallah.

the woks institute l rumah peradaban 20/2/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde