Langsung ke konten utama

TPQ Raudhatul Athfal Mojosari Kalangbret Oase di Tengah Sahara




Woks

Seperti pada umumnya pendirian pesantren di Jawa rerata menemukan batu sandunganya. Tidak mudah memang menaklukan masyarakat yang belum tercerahkan dengan ilmu agama selain karena pertolongan Nya. Kita mungkin pernah dengar kemasyuran saat KH Hasyim Asy'ari menjadikan Tebuireng sebagai basis santri padahal dulunya merupakan kebun tebu yang mana banyak para orang-orang abang menguasai. Kita juga tau saat KH Abdul Karim membabad lahan di Lirboyo hingga jadi pesantren padahal dulunya merupakan lingkungan angker yang masyarakatnya pun terkenal kriminal. Hal serupa juga terjadi pada Pondok Ploso, Pondok Tegalrejo, Langitan, Paciran dan hampir banyak pondok di wilayah Indonesia.

Nasib baik pun juga terjadi di TPQ Raudhatul Athfal Mojosari Kalangbret Tulungagung. Menurut Hj Raudloh sebagai generasi kedua pewaris TPQ dari ibunya dulu beliau bercerita bahwa TPQ yang di asuhnya pun merupakan lahan dakwah yang basah. Di lingkungan sekitar memang bukan iklim santri yang terbangun melainkan daerah kaum abangan, seniman, wanita tunasusila hingga bromocorah. Kata Bu Raudloh namanya juga berjuang maka kita harus rekoso, sekuat mungkin dalam babad alas tersebut. Sedikit demi sedikit nanti juga Allah akan memberi hidayah kepada mereka untuk mau mengaji.

Alhamdulillah seiring berjalanya waktu TPQ RA berdiri dan kini menaungi sekitar 20 an santri yang terdiri atas anak SD-SMP dari berbagai tingkatan. Mereka mengaji kepada Bu Raudloh dengan modal sukarela setiap sore ba'da asyar di sekitar serambi rumah beliau. Tanpa dipungut biaya apapun Bu Raudloh membawa pengajinya dengan asyik dan menyenangkan. Dulu TPQ beliau dibantu oleh anaknya namun untuk saat anaknya belum bisa membantu karena masih dalam proses nifas pasca melahirkan. Kini Bu Raudloh dibantu oleh beberapa tenaga dari santri Himmatus Salamah Srigading untuk mengajari anak-anak dalam mengaji qur'an.

Untuk program-program di TPQ tersebut tentu sama seperti pada umumnya yaitu mengaji metode iqro plus ketukan ala metode an Nahdliyah. Ada juga yang mengaji al Qur'an, nadhoman al asmaul husna, nadhoman alala, sorogan, bil ghaib hingga fasholatan dan kaligrafi. Semua demi menciptakan iklim anak-anak yang gemar mengaji. Yang paling penting kata beliau adalah menanamkan akhlak sejak dini. Karena hanya lewat akhlak dan ilmulah manusia bisa mulia. Sungguh tanpa adanya pembinaan akhlak manusia tak ubahnya seperti binatang.

Hal menanam kebaikan memang seperti telah menjadi teori bahwa minimal generasi tunas anak-anak yang harus diselamatkan terlebih dahulu setelah itu barulah merangkul orang tuanya. Kita memang tidak tahu apa isi hati orang semoga saja karena inayah dan hidayah Allah swt orang-orang di sana menjadi respek dengan adanya pengajian yang non-formal itu. Semoga Allah memberi kesempatan kepada anak-anak untuk terus haus akan ilmu. Menjadikan ilmu, adab dan keterampilan sebagai kendaraan menuju masa depan yang penuh tantangan.

the woks institute l rumah peradaban 27/2/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde