Langsung ke konten utama

Jolang




Woks

Mungkin kita sudah lupa apa arti jolang dan bagaimana fungsinya. Jolang adalah bak mandi alias penampungan air yang terbuat persegi memanjang berbahan batu bata yang tersusun dan diplester dengan semen. Sejak kecil kita telah akrab dengan bak mandi satu ini. Bentuknya yang unik dan mirip bak penampungan ikan selalu menjadi daya tarik tersendiri.

Sejak anak-anak jolang telah menjadi teman baik untuk mandi dan slulup bahkan berenang. Tapi di era milenium ini jolang semakin sulit kita dapati. Hari ini kita melihat jolang bertransformasi menjadi bak mandi terbuat dari plastik atau bahkan bejana besi. Dengan segala interiornya jolang memang mudah untuk dilupakan. Entah apa faktornya, apakah karena efesiensi, ukuran, penggunaan yang instan atau faktor harga.

Membuat jolang memang perlu keuletan pekerja atau tukang. Bedanya dengan jolang bak mandi plastik lebih praktis untuk di pasang bahkan dibiarkan saja sudah siap pakai. Cuma rasa jolang tentu berbeda dari bak mandi lainya. Selain air nampak segar, kadang jolang juga diisi dengan ikan. Setidaknya ada dua hal yang menarik dari jolang. Pertama kenangan masa kecil dengan bak mandi itu selalu menancap di mana dulu anak-anak begitu riang gembira karena bisa berenang ala kolam renang yang tidak setiap orang bisa berkunjung ke waterboom. Kedua jolang menjadi sarana pendidikan orang tua agar anak-anak punya tanggung jawab untuk mengurasnya. Kita tentu paham jika anak menguras jolang berarti bonusnya adalah bermain air.

Kadang dalam konteks beragama jolang diibaratkan wadah tempat di mana segala amal kita dihimpun. Jolang atau shalat misalnya bermakna bahwa jika tempatnya baik maka tempat itu akan mampu menampung air (amal) dan sebaliknya. Sekarang kita hanya melihat atau mendengar jolang sebagai kosakata. Semoga saja kita selalu dapat menghayati bagaimana jolang berfungsi dan difungsikan dengan baik. Merawatnya dengan baik seperti memperhatikan sanitasi air, lumut hingga kerak kotoran yang menempel. Semoga saja manusia pun memperhatikan keadaan hatinya dari segala penyakit yang menggerogoti amal perbuatannya.

the woks institute l rumah peradaban 10/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde