Langsung ke konten utama

Sistem Ekonomi Berkah ala Ramadhan




Woks

Ketika masuk bulan ramadhan mayoritas orang-orang bergembira tak terkecuali anak-anak dan para pedagang. Yang tidak gembira ketika ramadhan datang hanya sebagian orang yang menganggap ramadhan telah merenggut kesenangan berupa makan dan budaya pop lainya. Akan tetapi berbeda dengan pedagang mereka akan bersemangat dalam menghidupkan ramadhan tersebut.

Kita tahu selama ramadhan pedagang kecil berjamuran di mana-mana di sepanjang jalan, trotoar hingga dekat mesjid selalu ramai oleh si pengais rezeki itu. Saat ramadhan memang unik jika diamati dengan saksama maka perputaran uang seolah deras mengalir. Hampir setiap pedagang terkena berkahnya semua laku tak terkecuali pedagang lauk makan, es, takjil, petasan, buah, pakaian dan lainya. Serba-serbi itu selalu kita temui disaat ramadhan tiba.

Suasana yang ramai seperti pasar tumpah dengan pembeli yang berhamburan bagi orang Pantura disebut mrema/marema atau kondisi di mana jualan banyak untungnya. Mrema adalah satu istilah keberkahan tiada henti jika ditarik dalam konteks ekonomi yaitu orang yang senang membeli sesuatu bahkan tak jarang yang bukan kebutuhanya. Saat seseorang berpuasa justru jika dilogika maka seolah berkurang porsi makan akan tetapi faktanya pengeluaran lebih banyak.

Terutama di masyarakat kita justru saat ramadhan malah budaya konsumtif sangatlah tumbuh subur. Bahkan orang-orang sejak puasa pertama sudah selalu mempersiapkan kebutuhan menjelang lebaran sampai-sampai mereka lupa bahwa esensi ramadhan bukanlah belanja melainkan meningkatkan ibadah. Maka dari itu kaum kapitalis melihat fenomena ini sebagai pangsa pasar yang menguntungkan. Kita lagi-lagi menjadi object buying atau objek industri lebih tepatnya menjadi dimanfaatkan atas keadaan. Betapa tidak sebelum ramadhan tiba produk-produk baru seperti mukena, jilbab, baju takwa, minyak wangi, hingga kosmetik selalu menjadi andalan. Karena pabrik-pabrik itu tau kebutuhan masyarakat utamanya menjelang hari raya.

Bagaimanapun juga budaya belanja masyarakat itu tak lepas dari suasana ramadhan. Orang merasa membawa niat sedekah karena apalah artinya mengeluarkan harta di bulan yang baik, toh hanya setahun sekali. Begitu pula kita melihat dengan ramadhan mampu menjadi magnet orang berkumpul, berjibaku, rela antri demi mendapat takjil misalnya semua tak lain karena kharisma ramadhan yang menggugah selera. Acara festival yang digagas manusia misalnya masih nampak rapuh jika dibanding dengan hadirnya ramadhan. Betapa tidak dengan ramadhan saja perputaran ekonomi tidak hanya perpusat menjelang berbuka akan tetapi sepanjang hari hingga hari kemenangan tiba.

Ramadhan memang istimewa selain banyak pahala bulan ini juga banyak berkahnya. Saat ini kita lihat banyak orang berderma misalnya bagi-bagi kurma, es, takjil, nasi kotak hingga amplop bagi skala komunitas maupun perorangan. Semua gegap gempita dan sangat senang bahkan menjadi tradisi dan eksistensi. Orang-orang yang berada di jalananpun tidak merasa khawatir karena sejenak saja ada makanan gratis yang dibagikan orang. Tidak hanya itu segala macam promo dan give away hadir kepada mereka yang menggunakan moda transportasi berupa diskon ataupun fasilitas buka sahur secara gratis. Jika kita tahu demikian berarti benar bahwa ramadhan adalah bulan penuh keberkahan.

the woks institute l rumah peradaban 18/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde