Langsung ke konten utama

Tasawuf Sebagai Jalan Pembebas Problematika Kehidupan




Woks

Belum banyak kita jumpai buku-buku berjenre keislaman utamanya tasawuf yang dimaknai lewat fungsi praksisnya. Selama ini buku-buku bertema tasawuf masih terlahir sebagai sebuah narasi, metodologi, teoritis hingga sebagai pengetahuan yang sulit dipahami. Apalagi orang-orang masih meyakini bahwa tasawuf disalahpahami karena terjadi sinkretis dengan ajaran lain di luar Islam, pun seperti halnya filsafat yang selalu dianggap sesat.

Saya kira kita menyambut baik dengan hadirnya buku Antologi Serpihan Perahu (2021) ini. Buku yang tergolong mini ini tentu ikut berkontribusi dalam menjawab problematika kehidupan di antaranya masalah sosial, ekonomi, ekologi, teknologi, moderasi, perempuan, hingga moralitas. Buku yang ditulis di tengah pandemi ini bisa menjadi rujukan sekaligus refleksi di mana sesungguhnya kita berada. Termasuk mengapa manusia tidak mudah menerima ketika bencana tiba, padahal sebagian dari musibah itu akibat ulah tangan mereka sendiri. Melalui buku ini mari kita sejenak berkaca bahwa usaha pongah manusia memang sumber segala bencana.

Respon dari buku ini di antaranya ketika kita kebingungan bagaimana cara meminimalisir budaya konsumtif masyarakat sedangkan tasawuf justru telah berperan sejak lama. Imam al Ghazali misalnya melalui konsep 'Ala Qadr Al Hajat dapat diketengahkan sebagai usaha untuk mengurangi makan. Dalam buku ini konteks utamanya ialah soal deforestasi yang terjadi di berbagai wilayah khususnya Indonesia timur seperti di Papua. (hlm. 1)

Masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tentu berkorelasi dengan budaya komsumtif dan jumlah permintaan pasar yang kian hari semakin meningkat. Misalnya kelapa sawit yang kian hari semakin banyak permintaannya dengan berbagai produk hasil olahanya seperti minyak, margarin, cream dan lainya. Dari itulah jika masyarakat sadar akan laku sufi yaitu menekan kebutuhan alias hidup secukupnya saja. Misalnya kebutuhan itu diatur sesuai dengan porsinya tidak berlebihan pastinya semua masalah yang berkaitan dengan nafsu perut bisa ditekan bahkan kita bisa mengurangi jumlah kebutuhan yang ada di alam. (hlm 5)

Konsep ekosufisme juga tak kalah menariknya dalam merespon perubahan iklim pun termasuk menyadarkan kita betapa rusaknya ekologi dasar laut di mana hampir 75% terumbu karang keadaanya sangat kritis. Seyyed Hosen Nasr berpendapat bahwa penyebab rusaknya alam kita adalah akibat sainstek, dan ekonomi kapitalis yang merupakan produk krisis spiritual manusia. (hlm. 19). Ekosufisme sesungguhnya ingin memberi pemahaman bahwa memadukan kesadaran berlingkungan berketuhanan adalah harmonisasi yang sangat penting. Bahkan konsep Wihdat al Wujud menurut Prof Mulyadi Kertanegara adalah segala macam mahluk dan benda yang merupakan manifestasiNya. Tetapi Tuhan yang dimaksud adalah bukan Dzat-Nya melainkan sifat-sifat-Nya yang indah. Sehingga alam semesta dapat dikatakan sebagai aspek lahiriyah Tuhan. (Mulyadi: 2006).

Tulisan dalam buku ini pula turut mengomentari praktek moderasi beragama yang semakin luntur. Masyarakat masih sering tersulut emosi dan masih elergi terhadap perbedaan. Praktek saling menghormati dan menghargai menjadi tampak tidak dewasa karena faktor ultra-konservatif dan liberal, padahal dengan moderasi tujuanya adalah mengikis dua kutub ekstrem tersebut. (hlm. 24) Moderasi seperti yang kita tahu tentu sangat penting penerapanya apalagi di tengah ruang masyarakat yang kian hari semakin menunjukkan rintanganya dan diperparah lagi karena keberadaan media yang penuh simpang-siur.

Tasawuf sebagai dimensi esoteris Islam sesungguhnya ingin menawarkan cara pandang menarik mengenai moderasi beragama. Melalui tasawuf, seseorang akan menemukan bahwa tiap agama memiliki titik temu pada tingkatan tertentu, di mana hal itu dapat ditemukan pada aspek metafisis dan dimensi esoteris agama. (hlm. 25). Sayangnya dalam konteks terbaru kalangan ekstrimis tidak menyukai sesuatu yang berbau esoteris sehingga mereka hanya dikendalikan oleh pemahaman tekstual, rigid dan kaku. Maka tidak salah jika dalam memahami ayat jihad misalnya, mereka cenderung mengartikannya dengan leterlek.

Moderasi beragama termasuk upaya deradikalisasi tentu sangat penting ditanamkan sejak dini. Agar orang-orang sadar akan bahayanya ideologi ekstrimis yang tengah mengancam ruang demokrasi kita. Tasawuf tentu berperan besar dalam membuka peta pemikiran kita agar semakin sadar bahwa pengetahuan agama ini begitu luas. Mempelajari agama hanya dari satu pintu saja maka sangat rawan termakan indoktrinasi ideologi yang mudah membidahkan, spirit absolut tapi brutal dan gerakan teror hingga bunuh diri. Hal tersebut tentu didasari pemahaman agama yang rapuh.

Kita tidak bisa memahami agama secara parsial justru belajarlah agama dengan konfrehensif sesuai dengan zamanya. Andai setiap orang mau tau bahwa, mengutip Abu Said Abu Al Khair jalan menuju Tuhan itu sebanyak tarikan nafas maka mereka akan memperhatikan dengan seksama bahwa semua mahluk yang ada di muka bumi ini adalah dalam rangka memakmurkan kehidupan bukan mengacaukan. Sungguh kerusakan di darat dan laut semua karena ulah tangan manusia (Ar Rum: 41). [ ]

Judul Buku: Serpihan Perahu (20 Essay Pilihan dalam Rangka Tasawuf Psikoterapi Essay Competition 2020)

Penyelaras Akhir: Saiful Mistofa

Penerbit: SATU Press

Tebal buku: vii+156 hlm: 14×21 cm

Tahun Terbit: 2021

ISBN: 978-623-95732-1-8


the woks institute l rumah peradaban 19/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde