Langsung ke konten utama

Merayakan Sarjana Big Cola




Woks

Aku sangat senang dan bahagia mendengar Kangmas ku resmi menjadi seorang sarjana komunikasi. Ya, dia adalah Daryana Ade Kurniawan, S. Kom atau biasa ku panggil Ono. Sekilas kiprah atau perjalanan singkatnya akan aku tulisan selengkapnya di sini.

Sebuah Perjalanan Awal

Aku mengenalnya sejak kecil mungkin sekitar tahun 1998 di mana usiaku masih 2 tahun. Kami memang bertetangga dan juga bersaudara jauh dari jalur nenek. Aku biasa memanggil orang tuanya dengan Uwa dan adiknya (Teh Siti) teteh atau mbak.

Sejak dulu beliau paling aktif sebagai muadzin di Mushola Al Hikmah BBT Mekarjaya. Sejak saat itu kami melewati masa kanak-kanak dengan bahagia kadang berlarian, ucing-ucingan, main bola, main kleci alias klereng, mainan bedug, ngobrog, nawu alias mencari ikan di kalenan, hingga bermain petasan atau sesekali nyolong mangga milik tetangga. Suasana pedesaan memang asyik untuk dikenang. Ono adalah tipikal anak yang pemalu pada saat itu tapi ia memiliki kelebihan berupa suara yang merdu mendayu. Ditambah lagi style rambut belah dua ala Ariel Noah selalu menjadi daya tarik walaupun kadang kala sikapnya kocak dan membuat gelak tawa.

Ono biasa ku panggil A (mas dalam bahasa Sunda) termasuk orang yang biasa saja sekaligus sederhana. Sebagai anak petani tentu kami sangat paham bagaimana menghayati hidup. Hingga akhirnya kita berpisah karena Ono sudah berada di MTs Nurul Hikmah Gantar dan mondok, pun juga ia pindah rumah ke blok Balir Poncol sedangkan aku masih di SD dan masih di BBT.

Kami yang satu almamater di SD Mekarjaya juga mengalami perkembangan yang sama ketika aku juga masuk ke MTs. Di sana aku menikmati perjalanan mondok pertama kalinya tentu aku bersama Ono melewati segala macam lika-liku tersebut.

Pondok Sebagai Tempat Penempaan Jiwa

Singkat cerita aku bersama Ono mondok di MTs dan tentu ia sebagai senior ku. Senior di pondok ya senior di Pramuka. Kami berproses bersama dalam suka duka, kantuk, lapar hingga mabuk keong. Semua kita lewati dengan asyik terutama ketika mandiri saat masak, menyetrika, puasa, hafalan, ngalogat, hingga terbangun di malam hari untuk sekedar kencing atau kadang shalat tahajud.

Di pondok selain mengaji kami juga sering dilatih untuk sabar, nriman dan menahan lapar. Kadang kami harus rela berjalan jauh menuju rumah untuk sekedar mencari makan. Walau makan seadanya tapi kami merasa bersyukur dari semua itu mentalitas terbentuk. Makan gedang alias kates, minum air keran, makan molen sisa, makan mie dari rice cooker, hingga diberi nasi bungkus adalah sajian tiap hari. Atau kadang kala kami harus patungan membeli tempe oreg di RM. Padang seharga Rp. 2000 untuk makan selama 4 hari. Tapi semua itu kita lewati sebagai pembentuk karakter. Mondok memang telah mengajarkan banyak hal buat kami.

Aliyah Tempat Persinggahan Revolusioner

Waktu berjalan begitu cepat Ono pun lulus dari MTs dan langsung melanjutkan ke MA Nurul Hikmah Haurgeulis (MANHIK). Sekolah itulah yang juga mengilhami Ono berproses semakin gigih. Di sekolah ini aku juga melihat banyak hal yang menjadikan Ono berkembang pesat dari anak yang pendiam menjadi aktif berorganisasi.

Orang yang hobi menyanyi itu akhirnya membuat grup band bernama D'vinci/Defindz dan Before One (B 41). Band yang sudah hampir terkenal itu tentu sangat ku ingat sebab beberapa kali aku mendengar suara dan lagu ciptaannya yang direkam lewat hp Nokia Classic saat itu. Ono memang kreatif jika soal syair lagu pun termasuk ketika mbanyol. Yang paling kita ingat tentu banyak tulisan kelucuan yang aku abadikan dalam sebuah kertas. Tulisan itu berisi kekonyolan ketika kita menemukan hal yang lucu secara spontanitas salah satunya cerita tentang Jamul (sebutan untuk putra ustadz kami).

Perjuangan Ono di sekolah ini terbilang pahit. Selepas ngaji shubuh ia harus bergegas mandi, setelah itu ngepel alias membersihkan masjid setelah itu naik pager sekolah untuk berpacu dengan mobil Karawang Indah. Tapi sayang kadang ia banyak telatnya karena waktu dan mobil melesat cepat atau kadang kala si mobil penuh sesak. Lalu ia berangkat sekolah bersama temanya bahkan sesekali jalan kaki.

Singkatnya di MANHIK itulah Ono menjelma sebagai tokoh yang dingin. Tokoh yang tidak banyak bicara tapi dikenal lewat karyanya. Kadang aku iri dengannya karena segudang kreatif yang ia miliki. Termasuk aku berpikir bagaimana Aliyah bisa menempa orang pemalu itu menjadi aktif enerjik. Di sanalah aku pun berhasrat untuk masuk ke Aliyah yang ada di Buyut Harco itu. Ono memang menjadi sosok yang mempengaruhi ku ketika berproses di Aliyah. Aku merasa beruntung ketika kita sama-sama nyambung sanad keilmuan yang sama sejak SD hingga MA. Tapi kini kita telah berbeda dan menemukan jalan masing-masing.

Dunia Kerja dan Dunia Perjuangan

Setelah sama-sama lulus dari Aliyah kita benar-benar berpisah yang lumayan lama. Paling bisa bertemu satu tahun sekali itu pun tidak lama. Paling hanya sekedar bertegur sapa, salaman lalu kita pulang. Dulu sebelum Ono menikah kita sering membuat vlog tentang tradisi yang ada di daerah Gantar tentu yang pernah kita dokumentasikan adalah tentang tradisi tawur di makam. Beberapakali kita juga pernah membuat projects video hari guru, lelucon hingga jejak kehidupan di SD dan Banyu Urip.

Setelah lulus dari Aliyah Ono langsung masuk ke dunia kerja, setahu ku ia langsung masuk ke pabrik Big Cola yang ada di Cibitung Tangerang. Dengan penuh semangat selain kerja ia juga bertekad kuat untuk kuliah. Dalam masa kerja itu aku tidak bisa membayangkan kerja kerasnya selain mengirimi uang untuk orang tuanya di desa ia juga membiayai kuliahnya secara mandiri. Penempaan sejak di rumah, sekolah dan pondok mungkin menjadi modal ia dalam berproses.

Katanya suatu ketika kerja di sana panas dan keras, kita berjuang siang malam bahkan bergelut dengan berat, jauh dan kemacetan adalah makanan harian. Tapi dari pekerjaan itulah Ono bisa sampai menyelesaikan studinya. Aku tentu tidak bisa membayangkan jika menjadi dirinya. Yang jelas aku banyak belajar darinya. Saat ini melalui tulisan sederhana dan singkat ini aku mengucap syukur sekaligus berbahagia atas pencapaiannya. Ono memang layak mendapat semua itu, anggap saja semua adalah buah yang ia petik selama menanam sejak dulu. Tuhan memang punya rencana indah buat hambanya. Aku jadi selalu yakin bahwa buah dari perjuangan gigih adalah kebahagiaan. Aku senang bisa mengenal Ono selain sebagai saudara juga sebagai seorang mentor.



Aku yakin apa yang ia dapatkan tak jauh dari usaha dan doa orang-orang yang ada di sekelilingnya di antaranya orang tua, adik, (almh) Mak Tajem, Uwa, kawan kolega, para guru dan tak lupa Mak Kasih. Nama terakhir inilah yang tak boleh dilupa karena beliau telah menemani masa kecil sejak di MTs sebagai sosok pedagang lengkap, ya nenek dan orang tua.

Terakhir dalam catatan ini aku selalu menitip doa semoga Ono selalu diberi kemudahan dan kesuksesan terutama dalam mengarungi kehidupan yang fana ini. Selamat Daryana Ade Kurniawan, dan selalu berbahagia juga kepada Teh Sindy Dyah Octavia, Adek Dhifa semoga berbahagia dan semoga kita bisa bersua.

the woks institute l rumah peradaban 8/4/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde