Langsung ke konten utama

Pod-Writes bersama Innaa Rofiqotu Iqlima: Membuka Jendela Dunia Lewat Berkisah




Pod-writes kali ini edisi spesial dalam rangka memperingati Hari Kartini. Alhamdulillah kita kedatangan tamu perempuan tangguh dan menginspirasi. Beliau adalah perempuan multitalenta sekaligus berprestasi. Selain sebagai guru beliau juga penulis novel, kreator, motivator sekaligus pendongeng. Mari kita simak perbincangan seru kami dan Bunda Inari.


Jurnalis TWI: Pengertian berkisah itu apa sih sebenarnya? trus apa sama kayak story' telling atau mendongeng?

Bunda Inari: Berkisah, seperti halnya namanya, merangkum kisah-kisah yang memiliki nilai-nilai di dalamnya. Kisah yang dimuat di sini lebih luas dibandingkan dengan dongeng. Jika dongeng identik cerita fiksi. Maka, berkisah bisa mencakup fiksi dan non-fiksi. Jadi, mendongeng itu sendiri sudah termasuk dalam kegiatan berkisah.

Jurnalis TWI: Sejak kapan sampean bergelut di dunia berkisah ini?

Bunda Inari: Tahun 2017 itu kali pertama saya mencoba dunia berkisah itu. Kala itu saya memulainya dari menulis naskah berkisah. Awalnya, saya ingin mengasah kemampuan menulis saya dengan mengikuti perlombaan-perlombaan yang tersebar di sosial media. Lalu saya cari yang berpeluang dan sejalur dengan jurusan saya, Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD). Awalnya saya mencoba menulis naskah kisah tentang Nenek dan Kakek. Namun, saya gagal saat itu. Kemudian, saya mengikuti perlombaan yang diadakan oleh jurusan yang sama dari kampus UIN Sunan Kalijaga. Alhamdulillah, dari situ saya mendapatkan apresiasi sehingga saya berusaha untuk mengembangkannya di tahun berikutnya dengan mengikuti lomba berkisah di tempat yang sama.

Jurnalis TWI: Siapa yang paling mempengaruhi sampean dalam mengarungi dunia berkisah ini?

Bunda Inari: Ini berkaitan dengan alasan saya terjun ke jurusan PIAUD. Saya memilih jurusan ini karena kepedulian saya terhadap mereka. Bukan hanya ingin menyelami dunia anak, tetapi saya ingin menemukan cara yang menarik bagi anak agar dapat memahami nilai-nilai moral, salah satunya dengan mendongeng. Itu alasan pertama, yaitu yang memengaruhi saya terjun ke dunia tersebut, ya anak-anak. Kedua, ya kedua orang tua saya. Ibu saya adalah sosok pembaca hebat. Yang menyediakan buku-buku bacaan pada saya ketika masih kecil, sehingga karena beliaulah saya bisa menyukai bacaan. Lalu, beliau juga yang mengantarkan saya pada kemenangan yang saya dapatkan ketika mengikuti lomba naskah berkisah. Mengapa? Karena di situ saya menuliskan tentang kisah anak yang ibunya sudah tiada. Bak paket lengkap, demikian juga bapak saya juga termasuk orang yang memengaruhi saya terjun ke dunia berkisah. Bapak bukan hanya mendukung setiap langkah saya. Bapak juga sosok yang menggantikan peranan Ibu sejak beliau tiada.

Ketiga orang itulah yang paling memengaruhi saya untuk terjun ke dunia berkisah, anak-anak, ibu dan bapak.

Jurnalis TWI: Lalu bagaimana sih teknis sederhananya dalam berkisah itu? bagi pemula ini penting hehe

Bunda Inari: Ngomong-ngomong saya juga pemula lho. Tentu tiap orang memiliki teknis yang berbeda ya. Namun, hal mendasar yang harus dilakukan sebelum berkisah, tentu memperbanyak bacaan, karena berkisah sendiri termasuk dalam kegiatan berliterasi, jadi pondasinya ya tidak jauh-jauh dari membaca. Setelah membaca ya tulis apa yang ingin dikisahkan. Pastikan kisah yang disampaikan sesuai dengan dunia anak. Jika menggunakan kisah berupa dongeng, cari karakter yang unik/khas. Ini akan membuat daya tarik anak-anak ketika mendengarkan kisah. Sampaikan juga kisah tersebut dengan ekspresif. Semakin unik ekspresi yang ditampilkan, maka anak-anak akan semakin tertarik. Pastikan juga di dalamnya memuat nilai-nilai karakter, karena itulah tujuan utama berkisah. Lalu, media berkisah. Media berkisah ini akan membuat kisah yang kita sajikan menjadi nyata.

Jurnalis TWI: Ealahh tak kiro berkisah itu hanya murni gestur tubuh saja ternyata ada medianya to. Media berkisah biasanya apa saja sih?

Bunda Inari: Buuuanyak sekali. Salah satu yang membudaya ya Dalang, yang butuh wayang agar kisahnya sampai ke penonton. Pementasan wayang adalah salah satu kegiatan berkisah. Bedanya hanya pada sasaran penonton. Nah, kalau berkisah untuk anak, media yang digunakan ya harus sesuai dengan kesukaan anak, misal, yang lucu dan berwarna-warni. Media yang sering digunakan ketika berkisah pada anak biasanya boneka tangan, boneka jari, pop up, buku bergambar, dan lain-lain.

Jurnalis TWI: Kapan sih waktu yang pas buat belajar mengasah bakat berkisah atau perlu bahan apa dalam pembelajaran tersebut?

Bunda Inari: Waduh, kalau berbicara waktu saya sukanya dikejar deadline. Definisi bisa karena terpaksa mungkin ya. Semakin tersudutkan, semakin otak berpikir untuk mencari jalan keluar. Namun, ini jangan ditiru ya. hehe. Jangan menunggu disudutkan dulu baru bergerak. Tepatnya kita bisa memulai kapan pun begitu ide itu muncul. Kalau untuk bahan, yang saya pikirkan cuma cermin. Kita harus berlatih di depan cermin agar mengetahui apakah gaya berkisah kita sudah menarik atau belum untuk anak. Kalau tidak punya cermin ya dengan berlatih menggunakan video HP (selfi).

Jurnalis TWI: Emak-emak itu kan pintar bercerita, nah modal berkisah apa cukup orang yang pandai bicara saja?

Bunda Inari: Saya sebenarnya orang yang mudah sekali gugup ketika berbicara di depan umum. Namun, sekarang wadah untuk bercerita bukan hanya panggung semata. Kita bisa bercerita melalui video yang bisa kita take berulang kali untuk menghasilkan hasil terbaik. Yang jelas, sebelum kita menyampaikannya, baiknya kita susun naskah dulu. Bukan untuk dihafalkan, melainkan agar kita bisa benar masuk ke dalam cerita yang akan disampaikan. Kalau kita sudah masuk ke dalam cerita tersebut, maka kita akan bisa menceritakannya seperti air mengalir. Jadi yang terpenting bukan pandai berbicara. Melainkan kemampuan kita dalam menyelami cerita yang akan kita sampaikan.

Jurnalis TWI: Masyuk hehe
Lalu tips n trik buat orang yang barangkali memiliki minat untuk mengembangkan seni berkisah ini?

Bunda Inari: Yang pertama, niat. Niatkanlah berkisah untuk menebar kebaikan. Kalau niat ini sudah kuat, apa pun kesulitannya pasti bisa dihadapi. Kedua, jangan ragu untuk mencoba. Setiap dari kita memiliki potensi, maka dari itu, cobalah berbagai macam hal agar kita bisa menemukan potensi yang ada di dalam diri kita. Ketiga, praktekkan. Kalau sudah berniat, bertekad, maka tinggal menerapkannya. Penerapan di sini bisa dimulai dari membaca kisah-kisah, menyusun naskah, baru mulai untuk berlatih berkisah. Jangan lupa siapkan media peraga agar berkisah juga menjadi menarik. Untuk media ini jangan khawatir, kalau kalian kesulitan membuatnya. Sekarang banyak sekali yang menjual media-media untuk berkisah. Jadi kita bisa terfasilitasi. Seandainya pun memang tidak ada media, temen-temen bisa menyampaikannya dengan cara unik lainnya, misal dengan menyisipkan lagu-lagu menarik dalam kisah yang akan disampaikan.

Jurnalis TWI: Terimakasih bund atas ilmu dan inspirasinya, semoga bermanfaat dan selamat hari Kartini.

Bunda Inari: Sama-sama, terimakasih kembali.

the woks institute l rumah peradaban 21/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde