Langsung ke konten utama

Mafia Sholawat dan Gerakan Pertaubatan Kultural




Woks

Selayang Pandang Sejarah Mafis

Kita tidak punya hak menghakimi seseorang sebelum mengetahui masa lalunya. Begitulah kita teringat pesan waliyullah Gus Miek suatu ketika. Kata-kata tidak sekedar kata tapi kata yang menjadi semangat dan inspirasi bagi sebagian orang yang berdakwah melewati jalan sunyi dan dunia malam. Dakwah jalan terjal itu tentu tidak banyak dipilih, hanya sebagian orang saya mungkin kita mengenal Gus Miek, Gus Miftah, Gus Ali Gondrong dan Halim Ambiya (Tasawuf Underground) serta masih ada nama lain yang mungkin tidak terekspos media di antaranya KH Fawaid As'ad dengan Jamaah Jalananya, Gus Liek Jamsaren dengan PMJnya dan Gus Iqdham dengan Sabilu Taubahnya.

Di sini kita akan membincang secara singkat mengenai Gus Ali Gondrong sebagai salah satu dari juru dakwah jalanan itu. Drs KH Ali Shadiqin atau yang dikenal dengan Gus Ali Gondrong memulai dakwahnya sudah sejak lama hingga akhirnya ia menemukan sebuah kisah hidup yang tak terduga. Suatu saat beliau bermimpi bertemu dengan gurunya di antaranya Mbah Dalhar Watucongol Magelang (Guru Gus Miek), Mbah Mad serta Habib Alwi. Nama terakhir inilah yang beliau sendiri belum mengenalnya. Tapi di sanalah keanehan mulai terjadi.

Pada saat itu Gus Ali diundang ceramah di daerah Gunung Muria dekat Gembong. Singkatnya mobil yang beliau kendarai mengalami kecelakaan hebat yang membuat beliau mengalami luka yang cukup serius. Hampir sekujur tubuh beliau terluka dan berdarah akan tetapi panitia menghubungi jika beliau tidak sampai hadir maka salah satu di antaranya panitia akan dibunuh masyarakat. Dengan niat karena Allah dan atas dawuh gurunya beliau tetap berangkat ke acara walau dalam keadaan terkapar lemah.

Singkat cerita beliau pun sampai di TKP dan langsung singgah di salah satu tempat yang telah disiapkan panitia. Ketika sampai di dalam beliau langsung duduk dan memandang ke arah dinding di sana terpasang foto yang beliau sendiri belum mengenalnya. Saat ditanya siapa foto tersebut ternyata foto itu adalah Habib Alwi bin Ahmad bin Muhsin Assegaf dan seketika itu beliau menangis sambil mengatakan kepada panitia bahwa sebelum ke tempat ini ia bermimpi bertemu dengan beliau. Kata Gus Ali begitulah kiranya bahwa guru dan murid itu tidak harus ketemu tapi Allah lah yang mempertemukan.

Sesuai wasiat Mbah Dalhar dan Mbah Mad, Gus Ali semakin yakin bahwa beliau direstui untuk membuat majelis pengajian (sebelum Mafis lahir). Tahun 85an kira-kira majelis kecil-kecilan beliau rintis sebagai jalan dakwah dan perjuangan. Dalam pengajian itu kadang Gus Ali disebut Kyai Gendruwo, entah apa sebabnya atau mungkin karena rambut beliau gondrong.

Singkat cerita saat beliau ngaji di Ponorogo di sanalah Mafis (mafia shalawat) dideklarasikan. Mafis berdiri dalam rangka mewadahi sekaligus juru damai antara SH Winongo dan SH Terate yang selalu terlibat bentrokan. Hingga akhirnya mereka bersatu dalam memuji Kanjeng Nabi Muhammad saw dalam bingkai Mafis. Sebenarnya Gus Ali tidak menyangka sambutan warga Ponorogo sangat antusias agar memiliki majelis yang menjadi rutinan di sana hingga akhirnya terbentuklah Mafis. Beliau hanya berpikir bahwa untuk merangkul semua hanya satu cara yaitu via shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Karena kita tahu shalawat adalah amaliyah yang siapapun boleh mengamalkanya bahkan kepada mereka yang dianggap hina sekalipun.

Dakwah Gus Ali dengan Pendekatan Humanis

Cara dakwah Gus Ali memang sangat humanis atau dengan pendekatan merangkul bukan memukul sehingga anak-anak nakal, anak jalanan, mereka yang tersandung kriminal dan lainya merasa nyaman dengan kehadiran beliau. Melalui Mafis itulah beliau punya harapan besar agar semakin banyak orang-orang yang termarjinalkan tersebut dapat bertaubat ke jalan Allah dengan suka rela tanpa paksaan. Lewat Mafis dan Hadrah Semut Ireng Gus Ali dikenal sering membawakan shalawat yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum muda maka tak aneh jika gaya bershalawat beliau cenderung urakan tapi tetap beretika.

Dengan syair-syair yang digubah sedemikian rupa harapanya shalawat bisa diterima oleh semua kalangan. Mereka merasa tidak ada sekat antara pendakwah dan yang didakwahi sehingga anak-anak tersebut tidak takut dan lari. Sudah banyak akademisi yang meneliti dakwah jalanan Gus Ali yang berhasil misalnya merehabilitasi pecandu narkoba, stres, pemabuk hingga pekerja malam. Metode sholawat dengan memadukan gerakan/rodat tentu menjadi ciri khas Mafis. Apalagi dengan adanya tarian sama' atau tari sufi. Kata Gus Ali tari sufi ialah fly ilallah artinya asyik masyuk kepada Allah. Ia mengajari untuk berputar memeluk, merayu keridhoanya. Di sanalah arti manjing tembus hingga ke jiwa. Gus Ali menambahkan bahwa manjing itu tak lain karena cinta rindu sedangkan rindu itu mahal harganya. Tidak semua orang bisa diberi nikmat berupa kerinduan. Bisa saja orang-orang di remang-remang itu sangat rindu ingin keluar dari zona hitam untuk bertaubat tapi momenya belum ditemukan. Sehingga mereka disebut manusia yang sedang berproses menuju Allah.

Dalam dakwahnya Gus Ali pun mengajak jamaahnya dalam penguatan nasionalisme NKRI. Bagi beliau nasionalisme sangat penting agar tertanam rasa cinta kepada negeri sendiri. Jika sudah demikian maka kita akan mudah dalam mengkader mereka dalam bingkai persatuan dan menutup rapat pintuk masuknya radikalisme. Beliau juga menghimbau untuk tetap menjadi diri sendiri sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, karena saat ini kita sedang dijajah dalam bentuk lain yaitu budaya pop, glamor, hedonis, konsumtif, imitatif dari luar negeri.

Pesan-pesan Cinta Gus Ali untuk para jamaahnya di antaranya:

Hanya dengan menyebut Kanjeng Nabi Muhammad saw lah kita bisa wushul kepada Allah. Karena nama itulah kita mulia dan dimuliakan salah satunya jika berbuat baik segera dicatat kebaikanya dan jika akan berbuat buruk maka ditahan untuk tidak segera ditulis keburukanya.

Dakwah itu datangi orangnya lalu sentuh hatinya. Jangan sampai dakwah seperti orang memarahi. Kita hanya boleh mengutuk kesalahanya tapi peluklah orangnya. Orang punya masa lalu dan mereka juga punya masa depan.

Jika dihina tidak akan jadi seperti sampah jika dipuji tidak akan jadi rembulan.

Kita tidak boleh menciptakan bahaya dan atas bahaya yang lain. Justru ciptakanlah kedamaian di antara sesama.

Salam 3 jari rocker ala Gus Ali bermakna yesterday, today, tomorrow atau orang punya masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang. Siapa saja bisa berpotensi baik dan bertaubat sesuai yang dikehendaki oleh Allah swt. 3 jari juga bermakna iman, islam dan ihsan biasanya ditambah kata joss sebagai pelengkap semuanya.

Pakaian compang-camping anak Mafis bermakna seperti akan shalat istisqo yaitu hanya bertujuan meminta kemurahan hati Tuhan untuk menggapai keridhoanya.

Jalan hidup seseorang itu tidak selamanya sama karena bisa saja sekarang busuk bisa jadi besok harum dan mengharumkan. Maka tetaplah optimis dalam menggapai ramhmatNya.

Dunia itu ibarat tirai terindah yang membuai nafsu dan mengundang rindu, maka kudu ati-ati tetep eling lan waspodo.

Terakhir kita mengutip sebuah pesan dahsyat yang akan membimbing kita dalam perjumpaan kepada Allah yaitu lewat penggalan syair mars Mafis "shalawat sampai mati taubat sebelum mati". Bertaubatan adalah awal sekaligus akhir dalam mengarungi kehidupan penuh liku ini. Semoga Allah swt berkenan terus menunjukkan jalan yang lurus dan diridhoi.

the woks institute l rumah peradaban 23/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde