Langsung ke konten utama

Tarhib Ramadhan Bersama Habib Ubaidillah al Habsyi Surabaya





Woks

Saat Habib Ubaidillah al Habsyi datang ke LPI Al Azhaar Tulungagung beliau menyampaikan banyak hal tentang pengetahuan sebelum menghadapi ramadhan. Penyampaian itu beliau nukil salah satunya dalam Kitab Hujatul Majalis karangan Abdurrahman bin Abdussalam.

Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa Sayyidina Isa AS merupakan seorang pengembara. Isa juga berarti yang selalu berjalan karen beliau tidak punya rumah. Suatu ketika dalam perjalanan tersebut beliau melihat ada batu putih dengan cahaya yang meneranginya. Ketika beliau mendekati batu tersebut ternyata di sana beliau dapati ada orang yang sholat.

Saat itu pula beliau lalu bertanya siapakah orang tersebut dan ternyata dia seorang pemuda. Mengapa engkau bisa berada di sini kata Nabi Isa? Ternyata pemuda itu bisa berada di dalam batu karena dulu pernah berbakti pada ibunya hingga akhir hayat. Lalu ibunya bertanya kau sudah memenuhi kewajibanmu sekarang aku akan menghadap kehadiratNya lantas kau minta apa? Lalu pemuda itu meminta agar tetap dalam beribadah kepada Allah dan tidak ingin diketahui oleh siapapun. Akhirnya doa' tersebut terkabulkan. Konon pemuda itu sudah 200 tahun di dalam batu tersebut. Ia dimuliakan bahkan ketika laparpun batu akan mengeluarkan makanan dan minuman.

Tapi kata beliau dimuliakannya pemuda itu masih lebih kalah dibandingkan dengan umat Nabi Muhammad saw ketika di malam nisfu syaban shalat dua rakaat misalnya tahajud. Saking istimewanya syaban maka bulan ini disebut junnatu minnar atau syaban bentengnya neraka. Bahkan beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa ingin bertemu dengan aku (Nabi Muhammad saw) maka puasalah 3 hari, tentu di sini ketentuan berlaku.

Ramadhan syahra ummati kata Nabi saw. Nama ramadhan diungkapkan pertama oleh kakek Nabi yaitu Sayyid Quraisy yang artinya dulu adalah panas menyengat. Maka sesungguhnya fungsi ramadhan itu meleburkan dosa. Ketika Nabi Musa masih hidup beliau pernah bercakap-cakap dengan Allah tapi percakapan itu masih terhijab oleh 70 lapis. Akan tetapi umat Nabi Muhammad saw yang puasa di bulan ramadhan lebih baik dari percakapan Nabi Musa dengan 70 hijab tadi.

Beliau juga menyarankan agar memperbanyak 4 hal di bulan ramadhan 2 hal di antaranya ialah membaca astagfirullah nas'alukal jannata wanaudubika minsyahotika wannar. Lalu beliau juga memberi pengetahuan bahwa ada orang yang tidak dipandang oleh Allah di akhirat kelak mereka yaitu orang musyrik, orang durhaka, suka minum miras, pelaku zina dan
musahin atau orang dengan perasan benci terhadap sesama muslim.

Terakhir beliau menjelaskan bahwa ada 6 perkara yang tidak mendapatkan pahala puasa yaitu suka berbohong alias memberi kesaksian palsu, suka berghibah alias membicarakan keburukan orang, namimah atau adu domba, sumpah palsu dan suka berkata kotor. Kata beliau hindarilah semua hal tersebut dan selalu senantiasa kita berdoa kepada Allah agar dapat menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunanNya.

the woks institute l rumah peradaban 11/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde