Langsung ke konten utama

Nyekar: Menyemai Kembang Kerinduan


Foto: Komplek pemakaman Adipati Tulungagung di Sumbergempol

Woks

Seperti biasanya setiap tahun masyarakat akan mengulangi tradisi warisan leluhur untuk terus diuri-uri. Tradisi ziarah makam misalnya menjadi ritus wajib yang tidak bisa ditawar. Dengan cara itu sebenarnya leluhur mengajak sekaligus mengingatkan untuk tidak melupa segala macam kenangan selama hidup bermasyarakat.

Ziarah ke makam sanak famili merupakan tradisi yang sejak lampau telah ada bahkan dalam catatan, Sayyidah Aminah binti Wahab atau ibunda Rasulullah pernah mengunjungi pusara suaminya Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib hingga akhirnya beliau pun menyusulnya dan di makamkan di desa Abwa. Lebih jauh dari itu sejarah juga mencatat Ka'bah sebagai baitul atiq adalah peninggalan Nabi Adam AS yang lalu pada zaman Nabi Ibrahim dan Ismail dibangun kembali, salah satu tujuannya tak lain adalah tak lupa dengan rekam jejak leluhur. Hingga saat ini Ka'bah tentu selalu menjadi tujuan ziarah umat Islam seluruh dunia.

Karena manusia merupakan mahluk yang pelupa maka banyak hal yang lahir dalam masyarakat seperti tradisi nyekar, nyadran, munggahan, megengan, hingga kirim do'a sebagai sarana mengingat jasa leluhur sebelum puasa ramadhan tiba. Dalam buku Diskursus Kerinduan (2021) saya menuliskan bahwa banyak tradisi kreatif yang lahir dari masyarakat tak lain karena bersandar pada kerinduan. Seberapapun kuatnya seseorang mencinta kadang bisa saja lupa tapi rindu itu berbeda, ia selalu hadir bahkan disaat yang tidak tepat.

Tradisi ziarah makam selalu mengingatkan kepada kita bahwa barzakh dan dunia tak ada bedanya. Yang membedakan mungkin hanya alam sedangkan persamaannya yaitu hubungan ruhiyah tidak bisa terputus selama tradisi seperti wasilah dan berkirim do'a masih deras mengalir. Seperti halnya bunga ia ditabur ke sekujur pusara agar mewangi dan semerbaknya selalu mengikat dalam tali batin selamanya. Walaupun dunia telah berbeda tapi segala hal baik tak akan pernah sirna dan akan terus mengalir semua itu seperti halnya do'a anak sholeh yang didamba setiap orang tua.

Apakah para wali Allah yang telah terpendam ratusan tahun dalam tanah itu mati? jasadnya mungkin iya, tapi segala macam peninggalanya, ajaran, uswah, akhlak, ilmu, karya, hingga tradisi dan budaya selalu menjadi hal yang membuatnya hidup. Mereka tak bisa disebut mati sebelum banyak orang yang telah dilanda badai lupa. Maka dari itu salah satu kearifan dalam Islam Nusantara adalah tidak bersikap picik dengan mudah dan murahnya untuk selalu mengatakan bid'ah, syirik, dholalah dan lainya terhadap local wisdom.

Padahal dulu para wali selalu adaptif dalam dakwahnya. Mereka tidak membrangus segala macam tradisi yang berkembang di masyarakat. Justru dakwah mereka malah memberikan warna dengan menyisipkan pesan moral dan sentuhan religi pada tradisi lokal tersebut. Sehingga akulturasi budaya tersebut menjadi resep keberhasilan para wali dalam meramu, merawat masyarakat yang kreatif dan majemuk itu.

Mengapa orang merindu disalahkan? di mana kriminalnya orang merindu untuk sejenak memanjatkan doa atau bertegur sapa lewat salam kesejahteraan kepada para pendahulu, orang tua, para guru dll. Sungguh kerinduan tidak bisa dikriminalisasi karena ia adalah rasa yang tak akan pernah mati selama kita terus memupuknya. Lalu di akhir kita bertanya pada diri sendiri sampai kapan rindu ini akan berlabuh? Bukankah puncak merindu adalah bertemu.

the woks institute l rumah peradaban 14/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde