Langsung ke konten utama

Pod-Writes bersama Mas Agus Novel Mukholis: Membumikan Literasi Sekolah Untuk Menggali Potensi Siswa




Pod-writes kali ini akan membincang tentang kegiatan literasi yang ada di sekolah. Seberapa pentingnya dan bagaimana menerapkannya. Mari kita belajar bersama karena kita kedatangan tamu dari Bumi Blambangan, mari berbincang hangat dan semoga dapat menginspirasi.

Jurnalis TWI: Menurut Mas Novel literasi itu seperti apa sih?

Mas Novel: Ini menurut saya loh ya yang bukan ahli apa-apa, cuma manusia awam yang tertarik sama indahnya kehidupan, literasi yang dimaknai tentu tentang dunia pengetahuan, lebih disempitkan lagi pada kegiatan membaca, menulis, menelaah, menganalisa, meneliti, menyimpulkan, mengilmiahkan, dan apapun itu bentuk istilahnya yang mengarah kepada satu konsep mengenai pengetahuan untuk perubahan tatanan peradaban manusia. Tapi ternyata tanpa disadari Tuhan pun memberikan perangkat yang lengkap untuk kita berliterasi. 

Kehidupan adalah ruang luas untuk kita berliterasi. Maka tak heran jika wahyu yang pertama kali turun adalah "iqro", itu lebih luas maknanya dari hanya sekedar membaca.

Jurnalis TWI: Apa pentingnya berliterasi di dunia sekolah?

Mas Novel: Penting banget. Biar ada bedanya antara sekolah beneran atau cuma nongkrong ngecengin cewek (guyon). hehe

Istilah "sekolah" sendiri pun juga bagian dari kegiatan literasi kan.

Jurnalis TWI: Mengapa harus literasi mas. Bukan ekstra olahraga misalnya yang diutamakan atau gimana pandangan mas terkait ini?

Mas Novel: Nah ini kebiasaan kita dunia ilmu pengetahuan (katanya), selalu mengkotak-kotakkan istilah yang sebenarnya dalam satu konsep dipaksa untuk beda jauh dan tidak mungkin ada kaitannya. Sehingga ada istilah akademik dan non akademik. Padahal kan olahraga bagian dari akademik. Kalau olahraga bagian dari akademik ia juga bagian dari literasi.

Kenapa kok olahraga bagian dari literasi..??

Ya jelas lah, kan olahraga adalah bentuk dari aplikasi kesadaran kita mengenai pentingnya kesehatan dan dinamisnya kinerja tubuh. 

Jurnalis TWI: Sepertinya ada yang perlu dikritisi dalam tubuh Kemendikbud?

Mas Novel: Wah memang bener mas. Sehingga ada sebutan ke anak didik, "oh dia tidak pandai di bidang akademik, Ia pandainya di bidang non akademik". Halooo kalau non akademik kenapa kegiatan olahraga mereka masukan di kurikulum sekolah.

Jurnalis TWI: Kira-kira bagaimana cara atau strategi agar kegiatan berliterasi membumi di sekolah mas?

Mas Novel: 1. Kita melakukan apapun yang bisa kita lakukan, walau bukan bidang kita. Kalau nunggu mampu sampai kapanpun tidak akan bergerak. Karena kita selalu merasa belum mampu. Kalau kita bergerak dulu, ambil usaha dulu, nanti selama proses itu Allah yang akan memampukan kita.

2. Kompori siswa untuk mencintai dirinya sendiri, mencintai Tuhannya lewat jalur mencintai keilmuan. Kalau seperti itu siswa akan menempuhnya dengan kendaraan yang bernama "literasi".

3. Dekati pihak-pihak yang punya kuasa dan wewenang lebih untuk mendukung usaha kita dalam membumikan literasi.

Jurnalis TWI: Selama ini kegiatan berliterasi apa yang sudah dilakukan bersama siswa mas?

Mas Novel: 1. Pelatihan Menulis.
2. Dimuatnya tulisan siswa di Jawa Pos Radar Banyuwangi, hingga saat ini sudah ada hampir 20 tulisan siswa yang dimuat.
3. Menulis buku antologi cerpen dan puisi yang diwadahi oleh Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) Indonesia.
4. Pojok Literasi dan Kajian rutin dengan nama Man Nahnu, filosofisnya sesuai arti programnya yaitu mengenal siapa kita, sebagai manusia, siswa, anak, dll.

Jurnalis TWI: Literasi terutama di sekolah apakah tujuan puncaknya hanya membuat buku mas? trus pendapat jenengan bagaimana?

Mas Novel: Bukan mas, buku hanya sebagai bentuk keseriusan siswa dan wadah siswa dalam menorehkan karyanya. Sehingga lebih termotivasi untuk terus berkarya. Tujuan puncaknya ya agar mereka mencintai buku, mencintai ilmu, dan berusaha mengenal diri sendiri.

Jurnalis TWI: Ok Mas terakhir tips & trik atau pesan untuk sekolah yang akan merintis kegiatan literasi agar hidup di sekolah.

Mas Novel: Yang penting action mas. Memberikan contoh dulu sebelum kita mengajak siswa. Lalu Istiqomah, maksudnya jangan sampai semangatnya di awal saja. Tapi terus dinyalakan semangatnya, walau seperti apapun hasilnya, responnya harus baik. Tidak peduli menerima apresiasi atau hujatan, yang penting tetap action dalam kebaikan. Terus saja berbuat kebaikan termasuk dalam bidang literasi, sampai kita lupa akan dapat apa kita ke depannya.

the woks institute l rumah peradaban 12/4/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde