Langsung ke konten utama

Merindukan Ramadhan Sebagai Pencetak Generasi Masjid



Oleh: Woko Utoro*

Pernah ada yang bercoletah bahwa jika ingin melihat karakter asli anak maka lihatlah di bulan ramadhan. Di bulan ini disebut juga bulan panen karena setiap pahala akan dilipatgandakan bahkan maghfirah turun dengan derasnya. Magfirah tersebut ibarat sebuah remisi bagi para napi untuk mendapat pengurangan hukuman. Saat inilah ramadhan bagi anak-anak justru di anggap sebagai momen bermain sepanjang waktu apalagi mereka masih sebagai individu yang mencari arti dari ibadah ramadhan seperti hal puasa, tarawih dan zakat. Maka pantas sebuah syair dari Bimbo berbunyi " ada anak bertanya pada bapaknya/ buat apa berlapar-lapar puasa/ ada anak bertanya pada bapaknya tadarus tarawih apalah gunanya".

Waktu kecil tentu kita dapati masjid mushola tak pernah sepi dari aktivitas anak mulai dari ngepel, menadhomkan syair, ngaji, sholawatan, hingga tiduran. Semua terasa asyik dan gegap gempita. Tidak jarang salah satu tokoh besar sekaliber dai kondang Dr. KH. Jujun Junaedi, M. Ag merupakan alumnus dari pendidikan tajug/mushola. Bagi beliau lewat pendidikan berbasis masjid utamanya di bulan ramadhan justru sangat efektif dalam mengkader karakter anak. Dari tempat itu anak akan terbentuk kepribadian yang sederhana, pengertian, bertanggungjawab, dan tangguh.

Era 80an dianggap sebagai zaman yang subur karena banyak tokoh-tokoh yang lahir dari pengkaderan masjid. Saya mungkin belum bisa mendata siapa saja tokoh besar yang pernah mengenyam atau memiliki pengalaman mencecap pendidikan masjid. Yang jelas persinggungan itu mudah saja ditebak karena zaman dulu anak dan masjid begitu dekat apalagi saat ramadhan tiba. Tapi zaman sekarang mungkin seribu satu karena anak-anak telah dikuasai gadget dan serangan media sosial.

Ketika akan diberlakukannya penghapusan mata pelajaran agama di sekolah era Mentri Daud Joesoef beliau memandangnya sederhana bahwa zaman dulu pengajaran agama dianggap sukses melalui masjid mushola bukan di sekolah. Akan tetapi pada saat itu wacana tersebut urung diwujudkan karena masyarakat sudah terlanjur naik darah: menolak. Bagaimanapun juga apa yang dikatakan Mendikbud Daud Joesoef ada benarnya karena kita tahu masjid saat ramadhan menjadi kiblat anak-anak dikader dalam hal akhlak dan keilmuan agama. Mereka bisa lebih dekat dengan qur'an, sholawat, hingga ngaji kilatan kalangan pesantren menyebutnya ngaji pasanan.

Saya juga semakin yakin bahwa di balik suksesnya tokoh dari Minangkabau tak lain karena kaderisasi suraunya yang begitu kuat, termasuk melalui meunasah di Nanggroe Aceh Darussalam. Tokoh ulama seperti Syeikh Khatib Minangkabau, Syeikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Hamka, KH. Agus Salim hingga Bung Hatta juga tak bisa dipisahkan dari pendidikan surau melalui para gurunya. Bahkan pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari pun juga merupakan kader Masjid Gedang asuhan ayahnya KH. Asy'ari.

Saat ini seharusnya kita kembali melirik anak dan masjid untuk didekatkan lagi utamanya di bulan ramadhan ini. Konsep ala pawiyatan selama 24 jam bisa kita hidupkan lagi minimal anak lebih mencintai masjid ketimbang gadget yang melenakan itu. Orang tua hanya memantau dari jauh sedangkan selebihnya diserahkan kepada guru untuk ditarbiyah agar mereka bisa semangat dalam belajar dan ibadah. 

Mengapa harus masjid? karena melalui tempat itulah sesuatu yang besar dijanjikan Allah lewat sabda Baginda Rasulullah bahwa salah seorang yang kelak akan dinaungi oleh Allah di akhirat yaitu "seseorang yang hatinya tergantung di dalam masjid ketika ia berada di luar masjid hingga ia kembali lagi ke masjid". Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah tapi juga sebagai pusat peradaban, pendidikan dan simbol ketakwaan. Semoga kita senantiasa menghidupkan ramadhan dengan berbagai macam amalan dan memakmurkan masjid dengan ragam kegiatan keislaman.

*Alumnus Tasawuf Psikoterapi IAIN Tulungagung. Kini mukim di SD Islam Al Azhaar Tulungagung.

*Tulisan ini dimuat di koran Jawapos Radar Tulungagung


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde