Langsung ke konten utama

Bukber KTP15 Bersilaturahmi Tiada Henti




Woks

Alhamdulillah kemarin kami bisa melaksanakan buka puasa bersama. Bertempat di warkop Onderan Kota acara bukber ini berlangsung khidmat. Walaupun pesertanya belum lengkap akan tetapi tidak mengurangi acara bukber di tahun ini dengan begitu nikmat. Maklum saja rerata peserta bukber kali ini sudah berumah tangga jadi banyak hal yang dimaklumi.

Sejak lulus di jurusan Tasawuf Psikoterapi angkatan 2015, kami memang jarang bertemu. Sekalinya bertemu pasti di momen pernikahan, kelahiran hingga kematian. Barangkali pertemuan di bukber kali ini termasuk hal yang kita syukuri. Ini menjadi rumus bahwa pertemuan itu mahal harganya dan tidak bisa dibeli dengan uang.

Bukber kali ini lumayan berkesan karena masih banyak cerita yang kita kenang ketika kuliah dulu. Lumayan menjadi topik segar dan cerita hidup di tengah kesibukan yang menerpa. Kelas kami memang terkenal kompak sejak dulu. Maklum saja di sisi lain karena mayoritas dihuni oleh pribumi, rerata anak-anak di kelas juga saling support. Walaupun sudah banyak yang berumah tangga mereka masih saling menyempatkan untuk terus berkomunikasi. Ya barangkali dengan hal itu kita masih terus menjalin silaturahmi. Walaupun hanya sebatas menyapa di media sosial.

Seperti halnya berbuka di sore itu, rasa makanan dengan lauk ayam goreng yang berpadu dengan es teh telah mampu menyegarkan suasana. Belum lagi kehadiran anak-anak dari beberapa kawan juga melengkapi kehangatan bukber sore itu. Sekalipun kita jarang bertemu akan tetapi di antaranya kita selalu berdoa yang terbaik buat semuanya. Kita selalu ingin mendengar berita baik dari setiap orang. Karena di antara kami sudah dianggap seperti keluarga sendiri walaupun kini sudah dipisahkan oleh jarak dan kesibukan. Semoga saja hari esok kita masih disempatkan untuk bersua kembali dalam keadaan paling bahagia. Bukber ini, esok dan nanti kita akan bersama lagi. Kata Ebiet, bertemulah walaupun sekadar melihat kau tersenyum.

the woks institute l rumah peradaban 17/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde