Langsung ke konten utama

Seniman dan Kekuasaan




Woks

Gus Dur pernah berkata bahwa negeri ini adalah penakut. Yang beliau maksudkan adalah terhadap penegak hukum yang tidak tegas terhadap segala aktivitas korupsi dalam negeri. Apa yang disampaikan Gus Dur bukan tanpa alasan melainkan memang terlalu banyak alasan mengapa negeri ini belum maksimal dalam hal penegakan hukumnya. Hukum bisa sangat mudah dibeli bahkan diotak-atik oleh penguasa. Bahkan ironisnya penegak hukum sendiri sering melanggar hukum.

Penguasa memang selalu dekat dengan aturan hukum, perundang-undangan hingga aparat sebagai alat negara. Akibatnya alat negara yang dikuasai penguasa secara absolut akan berakibat pada pelanggengan kuasa tersebut. Ibarat tahta raja akan sangat sulit dikoyak oleh rakyat jelata. Hal-hal yang demikian tentu bukan rahasia umum di negeri ini apalagi kita pernah memiliki penguasa yang bertahta 32 tahun lamanya.

Kelemahan kekuasaan yang lama bertengger di istana adalah pada keputusannya yang tidak objektif. Kekuasaan akan terasa otoriter dan sulit dikendalikan. Oleh karena itu bagaimana caranya kekuasaan bisa tidak jenak dalam tidur nyamanya. Tentu di sini kita pernah punya pengalaman soal itu salah satunya fungsi kelompok oposisi sebagai penyeimbang sekaligus alat kontrol non-pemerintahan.

Sejak dulu kekuasaan paling takut dengan seniman. Ya, seniman adalah salah satu kelompok oposisi yang lahir dari akar rumput. Mereka menyuarakan segala macam ketidaksetujuan, kontra, kritik, hingga penolakan dengan beragam cara. Media agar penguasa mendengar segala bentuk aspirasi tentu disuarakan bisa lewat tarian, nyanyian, tulisan, teatrikal hingga mural di pinggir jalan.

Iwan Fals, Widji Thukul, Samsar Siahaan "Suara Rakyat" menjadi salah satu contoh seniman yang membuat tidur penguasa tidak jenak. Akibatnya mereka harus mendapatkan hukuman verbal hingga bui. Barangkali sejak dulu penjara adalah surga sekaligus neraka bagi para seniman. Sehingga kita bertanya mengapa seni yang bersifat estetis itu harus dihakimi. Apa salahnya keindahan atau memang jangan-jangan indah bagi penguasa adalah terompet Mikail yang menjadikannya kiamat.

Kasus terbaru menurut Obed Bima Wicandra yaitu di antaranya dalam kasus Wadas seperti Yayak Yatmaka dengan ilustrasi "Tanah untuk rakyat" nya. Moelyono "Seni Rupa Penyadaran" dan seniman lainya. Beberapa orang yang menolak proyek tambang Wadas itu harus rela ditahan dalam bui. Entah bagaimana ujungnya seniman selalu menjadi ujung tombak dalam perlawanan.

Sejak dulu seniman memang harus berada di tengah rakyat. Selain tujuan mereka adalah pasar, rakyat dan hati nurani merupakan panggilan jiwa. Seni nan indah itu bisa menjadi senjata ampuh dalam menyuarakan segala ketimpangan dan ketidakadilan. Mural salah satunya pernah bersejarah dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Bahkan dengan hanya mural pemerintah turun tangan untuk menghapusnya padahal negeri ini menganut sistem demokrasi.

Seniman dan Media Sosial

Dulu rakyat sangat kesulitan dalam membendung arus penetrasi pemerintah. Sampai-sampai segala hal dalam kekuasaan tak pernah diketahui oleh rakyat. Setelah adanya media, serta internet di mana-mana iklim demokrasi dan keterbukaan mulai dirasakan. Akibatnya segala hal dalam istana bisa kita akses dengan mudah. Dengan begitu media membantu menjadi alat kontrol rakyat dalam melihat kinerja pemimpinnya.

Ketika ketimpangan dan ketidakadilan terjadi maka seniman dan warganet akan membuat hastage sebagai gerakan semangat solidaritas. Hastage dalam medsos adalah cara gugat agar segala aspirasi dapat diarusutamakan.

Akan tetapi sangat disayangkan suara di media sosial selalu tidak nampak indah. Masih terlalu banyak nada sumbang yang terdengar. Hal yang negatif dari penyuaraan medsos itu adalah mudah terprovokasi alasannya sederhana yaitu karena minim bacaan dan tingkat literasi rendah.

Melihat fakta di lapangan maka bergerak berkesenian di media sosial dampaknya memang luar biasa sekaligus tantangannya. Karena di media sosial seseorang akan berhadapan dengan oknum berkepentingan serta UU ITE. Para seniman harus berhati-hati karena jikalau tidak akan mudah terkena jerat. Seniman kini dan hari esok memang akan terus menghadapi tantangan tidak hanya soal melahap karya akan tetapi tak bisa dipisahkan dari perlawanan.

the woks institute l rumah peradaban 18/4/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde