Langsung ke konten utama

Media dan Identitas Imitatif




Woks

Peran media sangat besar dalam menyemai berbagai macam hasrat narsisme. Hasrat-hasrat tersebut lahir sebagai penunjang eksistensi hingga membuat orang tampil percaya diri. Media memang membuat orang makin hidup sekaligus tenggelam. Salah satu sisi menarik dari media adalah kecenderungan imitatif yang dibuatnya. Dengan begitu orang amat mudah terkonstruk oleh media hingga lupa bahwa mereka hidup di alam nyata.

Lewat media perilaku tokoh idola begitu dekat sehingga memudahkan penggemar mengikuti jejak langkahnya. Mereka dengan mudah tergila-gila dengan tokoh idola salah satunya dibuktikan dengan kecenderungan imitatif, yaitu sebuah penyakit mental yang ingin selalu meniru. Kecenderungan itulah secara berlebihan akan bernilai negatif.

Hari ini tentu kita dikejutkan oleh tokoh instan populer yang ditangkap polisi karena dianggap telah merugikan publik. Mereka adalah Indra Kenz dan Doni Salmanan yang media menyebut dengan istilah "crazy rich". Sosok orang kaya mendadak itu mengejutkan publik setelah harta kekayaannya harus disita pihak berwajib. Orang Jawa punya falsafah jika ada orang kaya mendadak maka patut dicurigai. Hal itu senada dengan sesuatu yang datang instan pasti akan cepat lenyap pula.

Budaya flexing alias suka memamerkan kekayaannya memang tengah populer saat ini. Bahkan istilah afiliator pun tersemat karena subyek tersebut hanya diobjekan dan bukan sebenarnya orang kaya. Akibatnya orang tergiur untuk mengikuti jejaknya. Padahal jika kita segera sadar hal itu tak lain bagian dari ilusi kehidupan dan media berperan besar dalam menyemai ideologi ini. Media mampu membuat fakta imitatif yang sesungguhnya menipu publik. Tentu faktornya beragam seperti konten, rating hingga keuntungan tertentu.

Ketika hal ini sudah masif dan menjadi jamak lantas apa yang mau kita lakukan sebagai konsumen. Tentu harus segara disadari bahwa hal demikian kini menjadi identitas yang tak terbantahkan. Media lebih memilih jalan ini ketimbang mengedukasi masyarakat. Konten hiburan lebih banyak diproduksi daripada program yang bersifat mencerdaskan. Akan tetapi karena kontruksi yang telah mengakar masyarakat menjadi terbiasa dan kehilangan nalar kritisnya. Ketika nalar kritis tumpul maka bersiaplah kita akan terus melahirkan masyarakat tanpa logika. Kendati masyarakat cerdas namun faktanya dalam beberapa hal termasuk keinginan untuk seperti artis idola tak terbantahkan. Padahal rumus bahagia dalam hidup adalah bukan melihat orang lain akan tetapi berdasar kebutuhan diri sendiri.

TV atau internet secara umum tidak bisa dipercaya sebagai role model keteladanan. Akan tetapi jika kita mau bijak hal itu bisa disikapi bahwa ada beberapa hal yang juga bernilai positif. Dengan fenomena demikian kapankah kita beranjak dewasa atau justru tak pernah usai masa pubertasnya.

the woks institute l rumah peradaban 17/4/22






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde