Langsung ke konten utama

Ekspedisi Wali Pitu Tulungagung




Woks

Anda tidak usah risau dengan judul tulisan saya ini dan tidak usah pula membuatnya kontroversi. Saya membuat judul tersebut tidak bermaksud mengkotak-kotakkan, hanya sekadar judul berdasarkan rute ziarah yang saya lalui kemarin. Pada tanggal 28 April 2022 tepat di penghujung Ramadhan saya sengaja melakukan rihlah ke makam wali yang ada di bumi Tulungagung. Tujuannya sederhana yaitu sowan dan nyambung frekuensi ruhani.

Pertama perjalanan, saya awali ke makamnya Mbah Agung Taruna. Beliau adalah tokoh pembabad desa Plosokandang dan keberadaan makam beliau sangat dihormati di sini. Jika dulu awal saya berkunjung ke sini, makam masih belum terawat dan nampak angker. Akan tetapi lambat laun kini makam yang di selatanya ada pohon ploso itu sudah diperhatikan. Sekarang makam sudah difasilitasi dengan mushola dan MCK nan memadai, termasuk pendopo dan gerbang makam yang nyeni. Saya masih ingat makam pertama kali dipugar tertulis sekitar tahun 1948 dan untuk kedua kalinya di tahun ini 2022.

Sekilas dari cerita yang beredar, Mbah Agung Taruna adalah murid Mbah Yai Pacet. Beliau adalah salah satu tokoh penumpas Kasan Besari dalam konflik perebutan Roro Kembang Sore yang melibatkan Bupati Kalang dan Lembu Peteng. Nama-nama merekalah yang akhirnya diabadikan menjadi beberapa nama desa di Tulungagung, seperti Plosokandang, Tunggulsari, Kalangbret hingga Bedalem.

Setelah usai membaca yasin tahlil dan hadiah fatihah saya pun melanjutkan perjalanan menuju Podorejo Sumbergempol. Di sana saya menuju kompleks makam Ngadirogo tepatnya Mbah Kiai Ageng Patmodilogo, Mbah Kiai Ageng Muhammad Mesir serta beberapa adipati dan tumenggung era Kadipaten Ngrowo. Komplek makam Ngadirogo tentu sangat unik karena di utaranya terdapat Pondok Pesantren Putra-putri Darunnajah dan tepat di timurnya ada warung kopi plus karaoke. Tentu dengan kondisi tersebut masyarakat saling menghormati. Entah kapan hidayah datang yang jelas kita manusia hanya bisa berusaha.

Setelah tujuan kedua usai saya langsung bertolak ke arah selatan tidak jauh dari pesulukan Naqsabandiyah Kholidiyyah dan POM Podorejo, di sana terdapat makam Habib Ahmad bin Salim Al Muhdhor. Beliau adalah tokoh sekaligus pendiri Madrasah Khoiriyyah. Jika mendengar nama Khoiriyyah kita jadi ingat Nyai Khoiriyyah Hasyim Asy'ari putri Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari pendiri Madrasah Lil Banat di Seblak Jombang (bersama KH. Maksum Ali) dan utamanya Mekah (bersama KH Muhaimin Zubair) sekitar 1942. Dan kita tahu bahwa madrasah ini sangat besar peranannya khususnya dalam mendidik para perempuan.

Di kompleks makam ini tentu kita akan dibuat takjub karena arsitektur bangunannya mirip yang ada di Hadramaut Yaman. Lebih lagi ketika melihat bangunan masjid Nur Muhammad dengan ukiran kaligrafi yang indah menambah kesan unik di tempat ini. Bangunan dengan dominasi warna hijau tersebut memiliki kesan keteduhan utamanya karena dibangun oleh keturunan Nabi Muhammad Saw.

Saya dan kita barangkali melihat menaranya yang menjulang tinggi tentu akan bertambah rasa kagum di tempat ini. Tidak hanya itu gapura gerbang baik pintu masuk maupun keluar mencirikan bangunan khas para leluhur habaib salah satunya Ghubah al Haddad di Jakarta. Kita tahu Habib Ahmad bin Salim Al Muhdhor adalah seorang sayyid dan pejuang sejati. Beliau selain meninggalkan ajaran juga jejaknya berupa yayasan pendidikan Islam Al Khoiriyyah dari jenjang TK hingga SMK. Selain itu beliau juga membangun jembatan yang menghubungkan antara desa sekitar daerah Wates, Mirigambar, Bendilwungu hingga Podorejo.

Konon makam beliau dengan tanpa atap adalah pesan wasiat yang disampaikan melalui ahli waris agar tidak dibuat bangunan di atasnya. Beliau hanya ingin dimakamkan dengan posisi langit sebagai atapnya bukan dari bangunan. Selain itu cerita lain pun berkembang bahwa makam Bedalem itu ternyata ditemukan oleh Habib Ahmad bin Salim Al Muhdhor dari atas menara Al Muhdhor ini.

Dari tujuan ketiga itu saya langsung bertolak ke arah barat. Sepanjang jalan ke arah barat tersebut saya disuguhi pemandangan yang eksotis yaitu pegunungan saling menyambung dengan poros utama gunung Budheg. Di bawahnya terdapat kolam-kolam ikan patin dan pepohonan nan hijau ranau. Di atas tepat di antara pegunungan tersebut terdapat situs purbakala yaitu goa pasir, tempat di mana era kerajaan Hindu Budha pernah singgah di sini. Tidak hanya itu sepanjang jalan sungai-sungai mengalirkan air dengan derasnya. Sebelumnya saya juga melihat mural kreatif menyebar sepanjang tempok menuju pintu keluar Madrasah Khoiriyyah.

Perjalanan pun akhirnya sampai di makam Mbah Temenggung Surontani 2. Di sini setidaknya ada dua makam yaitu Tumenggung Surontani Ario Koesoemo dan Tumenggung Surontani Kertokoesoemo. Di kompleks makam ini sudah ada beberapa orang yang tengah berziarah. Menjelang akhir Ramadhan memang sudah menjadi tradisi awal atau akhir makam pasti sudah harum bertabur bunga karena diziarahi sanak keluarga. Tak terkecuali di areal makam Mbah Surontani. Mbah Surontani adalah salah satu tumenggung sekaligus punggawa yang pilih tanding di era Mataram. Dalam sejarahnya menurut Agus Ali Imron beliau harus diasingkan ke Ngrowo karena dikhawatirkan mengoyak stabilitas penguasa mataram saat itu. Letak makam ini berada di desa Wajak dan sebelumnya terdapat pondok pesulukan Naqsabandiyah Kholidiyyah di sebelah selatan.

Sesudah itu saya langsung tancap gas ke arah lebih barat lagi yaitu ke daerah Moyoketen sebelah barat kali Pinka. Kali Pinka dulu orang menyebutnya kali Brantas yang sangat terkenal dalam proyek kanalisasi penanggulangan banjir daerah Tulungagung. Bahkan dalam catatan di era Jepang proyek kanalisasi tersebut banyak memakan korban, tercatat ada 1000 lebih korban akibat Romusha. Akan tetapi proyek tersebut akhirnya usai dan mampu mengalirkan air ke pantai Sidem (samudera hindia) lewat terowongan Neyama.

Ketika melewati Pinka lalu Moyoketen tersebut saya ambil jalur Pondok MIA dan kebetulan makam yang dituju tepat sebelah utara pondok kisaran 250 meteran. Di sana masuk ke arah barat ada papan penunjuk arah lalu masuk ke utara tempat disarekannya Mbah Yai Pacet, KH. Abdul Aziz (Pendiri Pondok MIA), KH. Munawwir Kholid (Muassis Metode An Nahdliyah) dan KH. Mashuri. Di sini merupakan komplek makam para pendiri pondok MIA yang merupakan satu dari tiga serangkai bersama muassis Pondok Panggung yaitu Mbah Yai Asrori Ibrohim dan Mbah Yai Syafi'i Abdurrahman.

Suasana semakin siang dan hari kian panas masih ada dua tempat lagi yang belum saya kunjungi. Akhirnya saya langsung melaju ke selatan setelah itu ke barat, tepatnya ke makam Mbah Sunan Kuning di daerah Macanbang. Makam yang satu ini salah satu yang terkenal di Tulungagung dan diziarahi orang dari berbagai kota. Apalagi ketika peringatan haulnya pasti dipadati ratusan jamaah. Mbah Sunan Kuning atau Syeikh Zainal Abidin merupakan salah satu santri Kiai Muhammad Hasan Besari Jetis Ponorogo. Beliau diperintahkan untuk menyebarkan agama Islam di daerah Ngrowo utamanya di desa Macanbang Kecamatan Gondang. Masih banyak versi berkaitan dengan Mbah Sunan Kuning ini, bahkan ada yang menyebutkan beliau sudah singgah di Ngrowo sejak 1727 M.

Beberapa menit lagi waktu dzuhur tiba saya semakin bergegas menuju ke tempat terakhir. Saya keluar dari desa Macanbang menuju Kalangbret, tapi sayang di waktu yang mepet itu sempat diwarnai dengan insiden salah jalan alias keblasuk-blasuk kalau kata orang sini (TA). Akan tetapi hanya beberapa menit saja tujuan saya langsung sampai yaitu ke maqbaroh Syeikh Basyaruddin bin Abdurrahman. Makam beliau terutama di hari-hari biasa tak pernah sepi dari peziarah. Salah satunya karena animo warga tidak meragukan keberadaan makam yang satu ini.

Jika diruntut secara jarak makam Srigading ini sangat lurus menembus Mojosari hingga ke makam Auliya Tambak di Mojo Kediri. Tidak hanya itu makam Srigading ini di sebelah selatan berdekatan dengan pegunungan Bolu dan di timur terdapat dua pondok terkenal yaitu PPTQ Al Manan dan Pondok Pesantren al Hikmah Mlathen, termasuk toko kitab legendaris yaitu Al Hidayah. Di areal wilayah pasar Kalangbret juga sebenarnya ada waliyullah yang lain yaitu Syeikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono), dan Simbah Kiai Mahfudz.

Setelah dari Syeikh Basyaruddin saya langsung bergegas pulang karena waktu dzuhur telah tiba. Karena di pondok sepi maka saya harus pulang tepat waktu guna melaksanakan shalat dzuhur berjamaah. Sekian perjalanan sederhana saya semoga saja esok bisa terulang kembali. Sebenarnya jika waktu masih luang maka tujuan saya selanjutnya adalah makam Mbah Hasan Mimbar Majan dan Mbah Fattah Mangunsari sehingga genaplah dengan istilah wali songo.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/4/22


Makam Mbah Agung Taruna Plosokandang


Makam Mbah Patmodilogo Podorejo


Pendopo Makam Mbah Patmodilogo


Makam Habib Ahmad bin Salim Al Muhdhor Wates 


Areal Pondok dan Masjid Nur Muhammad


Menara Al Muhdhor


Gerbang Pondok Al Muhdhor nampak depan


Ribath Pesulukan Naqsabandiyah Kholidiyyah


Jembatan Podo Rukun diresmikan sekitar tahun 1996


Madrasah Al Khoiriyyah


Pemandangan pegunungan Budheg dengan kolam patin di bawahnya


Goa Pasir


Gerbang dan makam Mbah Tumenggung Surontani Wajak


Maqbaroh Romo KH. Abdul Aziz (Pendiri PP. MIA)


Pasarean Romo. KH. Munawwir Kholid (Muassis Metode An Nahdliyah)


Masjid Tiban Sunan Kuning Macanbang


Pendopo baru tempat istirahat peziarah di makam Sunan Kuning


Jalan menuju maqbaroh Syeikh Basyaruddin


Mushola Srigading


Kompleks Maqbaroh Syeikh Basyaruddin wa ahli bayti ajmain

























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde