Langsung ke konten utama

Prof. Mujamil Qomar Sang Pendidik




Woks

Siapa orang yang belum kenal Prof Mujamil maka saya pastikan ia merugi. Pasalnya sosok satu ini jangan dilewatkan minimal kita mengenal namanya, sang selimut rembulan. Beliau termasuk sosok yang langka padahal namanya mentereng di jagat akademik. Prof Mujamil adalah sedikit dari mayoritas orang yang kita akan kesulitan menemukan biodata lengkap termasuk foto-fotonya. Anda bisa cek di internet dengan keyword nama beliau pasti sangat minim sekali literatur mengenai kehidupan pribadi beliau. Hal-hal yang mudah ditemukan perihal beliau adalah soal karya. Rangkaian karya beliau yang luarbiasa itulah faktor makin menambah kekaguman kita pada beliau.

Di antara karya-karya beliau yang saya ketahui yaitu, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunah ke Universalisme Islam, Menggagas Pendidikan Islam, Menejemen Pendidikan Islam, Manejemen Pembelajaran Agama Islam, Strategi Pendidikan Islam, Epistemologi Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Manajemen Pendidikan Islam, Dimensi Menejemen Pendidikan Islam, Pendidikan Islam Transformatif, Kesadaran Pendidikan, Kontribusi Islam Terhadap, Peradaban Manusia, Studi Islam di Indonesia, Moderasi Islam Indonesia, Pemikiran Islam Indonesia, Fajar Baru Islam Indonesia, Merintis Kejayaan Islam Kedua, Pemikiran Islam Metodologis, Pendidikan, Islam: Multidisipliner Interdisipliner dan Transdisipliner, Wacana Islam Inklusif, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi ke Demokratisasi Institusi, serta banyak lagi lainya termasuk jurnal yang terkumpul di berbagai media.

Saya barangkali menjadi satu dari sekian banyak mahasiswa yang beruntung bisa mengambil ilmu langsung kepada beliau. Pertama dulu di saat S1 jurusan Tasawuf Psikoterapi, saya mendapat mata kuliah metodologi studi Islam. Di matkul MSI ini kami menyebut beliau dengan ProfMild, maklum saja hampir mayoritas kawan kami adalah ahli hisab, alias rokokan.

Saat menerangkan di kelas Prof Mujamil sangat luar biasa karena beliau hampir tidak pernah membawa buku kecuali berupa buku catatan pribadi. Cara menerangkan beliau sangat sistematis, lengkap dan pastinya beliau hafal di luar kepala. Kadang saking lengkapnya penjelasan tersebut membuat mahasiswa kesulitan mencatat hal-hal penting sebab hampir semuanya penting. Akhirnya karena kemampuan menulis yang lemah kami pun terkadang tertidur dan ketinggalan hal-hal penting itu.

Saya kadang berpikir bagaimana bisa seperti beliau, sosok sepuh tapi makin produktif. Pasti beliau adalah sosok yang luar biasa dalam hal pembelajarannya. Kendati beliau bukan lulusan luar negeri tapi kemampuan akademiknya justru luar biasa dan bahkan itu yang membuat beliau juga sering berkunjung ke luar negeri. Barangkali inilah biografi singkat beliau Prof. Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag.

Beliau lahir di Tuban 1 Maret 1965 dari pasangan H. Qomari (almarhum) dan Hj. Sulastri. Beliau menempuh pendidikan dasar, Tsanawiyah, Aliyah di kota kelahiran, Tuban Jatim. Lalu melanjutkan S1-S2 di IAIN Sunan Ampel Surabaya (sekarang UIN) hingga doktoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menjadi guru besar dalam bidang pemikiran modern dalam Islam di STAIN Tulungagung (sekarang UIN SATU). Tidak hanya itu beliau juga merintis perguruan STIT Ibnu Sina Malang serta mengajar di berbagai perguruan tinggi di antaranya, Pascasarjana UIN SATU Tulungagung, UIN Maliki, UNISLA, IAIN Kediri.

Prof Mujamil memang sedikit dari sekian banyak pendidik yang benar-benar serius terhadap perkembangan ilmu. Produktivitas dalam hal karya barangkali adalah jawaban atas kesetiaan beliau di jalur ilmu. Saya pernah tanya mengapa beliau begitu antusias dalam hal belajar, mengajar dan menulis. Beliau dengan singkat hanya menjawab ya "komitmen". Dengan komitmen itulah seseorang akan mengingat akan janji pribadinya. Dengan begitu seseorang akan menghargai orang lain, waktu, dan ilmu.

Di berbagai kesempatan beliau selalu menegaskan akan pentingnya membaca dan menulis. Karena dari sanalah pendidikan akan terus berkembang termasuk tidak boleh tertutup terhadap ilmu baru. Bagi beliau pembelajaran bukan satu-satunya akan tetapi memiliki dampak luar biasa. Hal itulah senada dengan Sayyid Ahmad Khan bahwa untuk melahirkan generasi terbaik adalah dengan didiklah, didiklah pemuda. Lewat pendidikan barangkali beliau terus merumuskan sekaligus melahirkan inovasi baru perihal kemajuan bagi sebuah masyarakat, peradaban dan bangsa.

Srigading, akhir bulan Sya'ban 1443 H

the woks institute l rumah peradaban 1/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde