Langsung ke konten utama

Shalat Barometer Kehidupan




Woks

Dalam Kitab Syu'abul Iman karangan Syeikh Zainuddin bin Ali Kusyini tertulis لا تتركنّ جماعة قد فضّلت بالسّبع والعشرين من فضل علا ولم التّعلّم yang kurang lebih artinya adalah pesan untuk santri agar tidak meninggalkan shalat berjamaah. Lebih umum lagi jangan sampai meninggalkan shalat. Betapa istimewanya shalat sehingga banyak pesan para kiai untuk tidak meninggalkan shalat dalam kondisi apapun.

Tentu keutamaan shalat di sini sudah dijelaskan secara gamblang oleh banyak ustadz kiai hingga pendakwah. Oleh karenanya kita hanya menjelaskan shalat dari sisi yang lain. Kita tahu bahwa shalat merupakan pendulum atau alat di mana manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhannya. Ritual ini tak lain merupakan sarana sekaligus media agar manusia tak kehilangan arah.

Fenomena akhir zaman kita akan menemui orang mendaku sebagai ahli supranatural atau paranormal. Sehingga dengan klaim tersebut orang merasa sakti, mampu, bisa atau pinter. Maka apakah ada tolok ukur untuk mendeteksi kebenaran mereka. Salah satu alat ukur untuk melihat kedok perdukunan adalah shalat. Jika seseorang yang menganggap dirinya sakti masih tetap dalam rel syariat berarti ia boleh dipercaya akan tetapi sebaliknya jika syariat ditinggalkan berarti ia dusta. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menuliskan sekalipun orang bisa berjalan di atas air selama ia tidak menjalankan syariat maka itu syeitan.

Selama ini shalat memang masih diyakini sebagai barometer kehidupan. Jika ingin mengetahui seberapa baiknya diri ini maka lihatlah dari caranya mendirikan shalat. Oleh karena itu shalat bisa berfungsi sebagai psikolog yang praktis dalam keseharian. Karena tidak semua orang bisa berpegang teguh terhadap ibadah shalat ini. Sampai-sampai Kanjeng Nabi Muhammad berpesan bahwa shalat adalah tiang agama jangan sampai dirobohkan.

Para pendahulu telah mencontohkan agar shalat selalu dalam genggaman. Buktinya mereka tetap shalat sekalipun dalam keadaaan berkecamuk perang. Saking istimewanya shalat kata Gus Baha ada wali yang tidak ingin masuk surga jika di sana tak ada shalat. Shalat barangkali sebuah cara untuk mengenang bahwa manusia adalah hambanya yang kecil dan hina. Oleh karena itu dengan shalat kita selalu sadar akan posisi dan memposisikan Dia sebagai yang maha segalanya.

Sebagai penutup saya jadi ingat salah satu ceramah Gus Baha, beliau bercerita bahwa dulu ada orang sekarep dewe. Dia ingin hidup semaunya lantas ia mengadukan kepada Rasulullah. Singkat cerita Rasulullah membolehkan orang itu hidup semaunya asalkan satu, kata beliau yaitu "jangan tinggalkan shalat". Dengan pernyataan itu para sahabat gusar lalu bertanya pada Rasulullah, wahai Nabi Allah mengapa engkau perbolehkan dia bertingkah semaunya?". Lalu Rasulullah menjawab santai, "tenang saja selama shalat menjadi komitmennya maka ia tak akan hidup seperti yang diinginkan".

Barangkali cerita tersebut adalah fungsi di mana shalat adalah mencegah perbuatan fahsya dan mungkar. Shalat akan menjadi rem di mana seseorang akan kembali. Jadi tak usah khawatir jika shalat menjadi amalan yang terus dipegang teguh maka seseorang akan paham dari mana asalnya dan ke mana akan kembali. Bahkan sampai banyak wali yang ingin pulang menghadapNya dalam keadaan shalat.

the woks institute l rumah peradaban 5/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde