Langsung ke konten utama

Peneliti Pikir Keri




Woks

Membaca artikel Mas Afriansyah dalam Buku Catatan Dari Lapangan (2019) tentu sangat menarik. Seperti artikel sebelumnya tulisan Mas Afriansyah banyak ditemui hal-hal menarik terutama kita mendapatkan pengetahuan seputar penelitian untuk Ph.D nya di Universitas Leiden Belanda. Mas Afriansyah yang juga dosen UIN Ar Raniry Banda Aceh tersebut memang sangat kuat untuk berkeinginan menyelesaikan studinya tepat waktu. Karena ia sadar bahwa studi dengan beasiswa LPDP akan selalu berhadapan dengan waktu penelitian yang singkat. Belum lagi sejak awal ia sudah dihadapkan dengan proposalnya yang diwarnai kegamangan.

Dalam catatannya, Mas Afriansyah memulai dengan cerita bahwa sejak awal ia ingin meneliti tentang topik "Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru di Indonesia" dengan fokus studi di Aceh. Menurut beliau Aceh menjadi salah satu situs yang menarik untuk diteliti pasalnya di Negeri Serambi Mekah itu terdapat partai lokal, dinamika politik yang unik, pengguna syariat Islam, hingga nama Aceh yang ternyata berasal dari salah satu suku di sana.

Singkat cerita karena di Aceh ternyata dihuni oleh sekitar 13 suku utama akhirnya ia memutuskan meneliti pada suku Gayo dengan fokus hukum dan masyarakat. Akan tetapi ketika proposal masuk fase review beliau diminta untuk mencari referensi terkait dengan Aceh termasuk mempelajari antropologi hukum, pluralisme hukum dan antropologi hukum di masyarakat Muslim.

Permasalahan mulai muncul ketika memulai penelitian, di mana Mas Afriansyah kesulitan dalam menemukan literatur terkini dengan Aceh khususnya suku Gayo. Peneliti ICAIOS itu pun mengalami kebingungan di awal ketika ia tidak menyiapkan dengan matang terkait instrumen penelitian bahkan fokus penelitiannya pun kabur. Ia menduga bahwa persidangan Mahkamah Syariah, Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Adat (PA) adalah bagian dari pluralitas hukum.

Secara personal Mas Afriansyah mengakui bahwa ia merasa nampak bodoh ketika studi etnografi hanya baru ia pahami ketika sudah terjun ke lapangan. Sejak dulu ia hanya sekadar tahu saja apa itu etnografi, akan tetapi prakteknya masih ngawang di udara. Akhirnya dalam proses yang mengasyikkan itu ia terjun menjadi seorang yang berkamuflase. Bahkan ia sendiri tidak percaya jika orang-orang mengira dirinya adalah seorang sarjana peneliti hukum.

Hal menarik tentu ketika di fase kebingungan itu ia justru terus menceburkan diri di masyarakat sebagai dalih menjadi etnografer. Karena anggapan bahwa menjadi bagian dan ikut dalam aktivitas masyarakat itu merupakan metode utama penelitian etnografi. Akhirnya ia justru malah tercebur ke dalam topik penelitian lainya dari mulai demam batu giok hingga penelitian kasus pelecehan seksual.

Barangkali topik terakhir itulah yang merupakan ilham sekaligus menjadi fokus disertasinya. Sepertinya ia harus berterimakasih kepada sosok Hasanah yang memperkenalkan dengan serangkaian kasus hingga menjadi ilham itu. Akhirnya ia mendapat angin segar setelah menyela-nyela antara hukum pidana dan hukum syariah lantas di mana letak hukum adat. Di sanalah diskusi berlanjut hingga menemukan pertanyaan jika sejarah seksual sama tuanya dengan sejarah manusia lantas bagaimana hukum adat lokal mengatur akan hal itu. 

Kisah masih berlanjut ketika ia juga terlibat dalam aktivitas polisi syariah alias Wilayatul Hisbah Kampong (WHK) ketika melancarkan aksinya. Tidak hanya itu sekembalinya dari Leiden ia juga menemukan kasus menarik lainya yaitu tentang pedofilia. Hingga akhirnya kasus-kasus tersebut ia simpan saja sebagai cerita dan pengalaman. Ia khawatir terkena semprot pembimbingnya untuk fokus ke isu pluralisme hukum bukan ngurusi batu giok. Walaupun itu juga masuk akal karena tinjauan perilaku dan ekonominya.

Sampailah pada kesimpulan bahwa di balik modal nekat itu ternyata terselip hikmah. Ia tidak menduga jika akhirnya penelitian itu berlabuh pada topik 3 institusi hukum (Mahkamah Syariah mewakili hukum di Aceh, Pengadilan Negeri mewakili hukum sipil negara dan Pengadilan Adat mewakili budaya). Akan tetapi walau demikian ia selalu teringang pernyataan pembimbingnya, "Ke arah mana dan akan dibawa ke mana data itu. Termasuk ceritanya menarik tapi untuk apa cerita itu?". Sungguh pernyataan tersebut sangat menohok.

Tapi di bagian akhir Mas Afriansyah membuat kita pembaca berseloroh orang meneliti dengan tidak fokus dan tidak persiapan pun dapat menemukan topik apalagi yang sampai dipersiapkan dengan matang. Mungkin akan berbeda lagi ceritanya. Maka kadang kita berpikir mungkin peneliti tipe Mas Afriansyah ini adalah peneliti pikir keri. Yowess pokok dipikir nanti, sekarang yo tinggal dijalankan saja. Hal-hal lain urusan belakangan, yang penting budal neliti. haha

the woks institute l rumah peradaban 26/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde