Langsung ke konten utama

Pengalaman ke RS Pertama




Woks

Bagi mayoritas orang berkunjung ke rumah sakit barangkali merupakan hal biasa. Tapi tidak lumrah memang mengunjungi rumah sakit atau lebih tepatnya tempat pariwisata. Selain kebutuhan studi banding rumah sakit adalah tempat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan kesehatan. Ya, rumah sakit, dokter, alat dan obat merupakan bagian dari perantara alias ikhtiar sedangkan kesembuhan mutlak di tangan Tuhan.

Di hari bumi kemarin tanggal 22/4/22 aku berkunjung ke RS Bhayangkara Tulungagung. Di sana aku menemui A. Ilman Syauqi alias Philip, teman satu kamar di pondok PPHS yang sedang sakit. Setelah mendapat telpon darinya aku langsung bergegas menuju ke sana. Nampaknya ia membutuhkan seseorang yang dianggap mewakili keluarga. Akhirnya aku pun ke sana sore hari sebelum asyar tiba.

Setelah memarkirkan motor di belakang, aku pun langsung menuju ruang utama. Dengan menanyakan ke bagian resepsionis aku menemui Philip yang sudah menunggu sejak tadi. Akhirnya kami pun terlibat dialog yang intinya ia mengeluh dan membuatnya harus rawat inap di IGD RS Bhayangkara tersebut. Katanya ia seperti demam tinggi serta lemas ala gejala tyfus. Lalu dengan cepat aku pun mengikuti petunjuknya untuk mengurusi segala administrasi guna mendapatkan tindakan.

Di sana aku memulainya dengan menunjukkan kartu peserta pasien, KTP dan mengisi formulir. Kebetulan Philip bukan peserta Jamkesmas sehingga mengharuskan ia membayar penuh seperti pasien reguler pada umumnya. Setelah semua usai kami juga sempat mengurusi perpindahan kamar dari umum ke paket 1 kamar isi 4 orang seharga 125 ribu per malam.

Di sana aku melihat anak kecil dengan gangguan pencernaan lantas dokter mengharuskannya mengambil tindakan infus. Ia menangis tersedu-sedu menahan sakit dan tak terasa hal itu juga membuatku haru biru. Setelah itu aku melihat Philip juga diinfus, di pergelangan tangannya ia terdapat infus dengan cairan Sanmol alias obat pereda panas. Aku melihat tetes demi tetes cairan infus masuk lewat pergelangan tanganya. Yang kubayangkan di antara keduanya adalah buku karya Eko Prasetyo "Orang Miskin Dilarang Sakit". Di mana dalam buku tersebut tentu sangat jelas betapa bayang-bayang ongkos berobat itu tidak murah, jadi bagi orang miskin alih-alih segera sembuh malah jontor dengan mahalnya biaya.

Selain itu yang ada dalam pikiran ku adalah betapa sakit di kota rantau itu sangat menyakitkan. Betapa tidak, di sana kita tak memiliki siapapun kecuali teman yang itu pun sama-sama dari jauh. Jika terjadi sesuatu betapa payahnya orang di rumah pasti akan merasa cemas. Akan tetapi di manapun kita kadang memiliki perasaan yang sama yaitu tidak ingin merepotkan "liyan". Akhirnya segala upaya sederhana barangkali itu yang bisa dilakukan.

Setelah usai semua aku pun membawa Philip bersama perawat mahasiswa STIKES yang sedang PPL ke ruang Rontgen. Entah aku sendiri tidak paham apa guna tindakan itu seperti halnya di awal Philip juga melakukan rapid test. Kadang aku berpikir hal itu pasti hanya formalitas belaka karena pada akhirnya data tersebut tak pernah dijelaskan pada pasien dengan memuaskan.

Dari ruang Rontgen tersebut kami pun bertolak menuju ruang yang sudah dipesan Philip yaitu kamar Melati4. Dengan menyusuri lorong, tangga kecil kami pun masuk melewati lift. Setelah sampai ternyata di sana sudah banyak sanak saudara menunggu keluarga yang juga sedang sakit. Aku selalu berpikir lagi ya Allah betapa kesehatan itu mahal harganya apalagi ketika kita kehilangannya. Kata pepatah kesehatan itu ibarat mahkota bagi mereka yang sakit.

Singkatnya Philip pun langsung masuk ke kamar Melati4 dan di sana sudah terbaring lemah seorang ibu yang ditunggui suaminya. Setelah Philip berbaring katanya ia membolehkan ku untuk meninggalkannya. Setelah itu barulah aku pamit karena akan ada acara selanjutnya. Aku belajar banyak hal dari rumah sakit termasuk di awal betapa seriusnya mahasiswa STIKES yang sedang dibimbing oleh guru pamongnya, apalagi ketika mendapati pasien dengan ragam keluhan. Mereka diminta untuk observasi hingga analisis data mengapa hal itu terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana cara tindakannya.

Selain itu rumah sakit juga salah satu bentuk kemajuan zaman dan pengetahuan. Di sana bertengger alat-alat canggih penyangga tubuh yang sakit. Tidak terbayangkan ketika dulu Ibnu Sina, Abu Bakar ar Razi dan ilmuan kedokteran lainnya di zaman itu memperlakukan pasienya. Hingga di sisi Eropa ada madzhab Frankfurt dan pengikut Freudian yang juga bersentuhan dengan kliennya. Tapi kini zaman makin canggih dan penyakit pun makin berevolusi.

Aku selalu membayangkan banyak hal termasuk ketika awal pandemi betapa susahnya para dokter dan suster dalam merawat pasienya. Sederhananya adalah di mana pun tempatnya tetap saja etika yang paling penting dan di sanalah aku juga menemukannya minimal lewat senyuman, pelayanan, dan ada juga karyawan yang mengaji. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde