Langsung ke konten utama

Puasa: Ajaran Ksatria dan Membunuh Egoisme




Woks

Pengalaman puasa pertama selalu membawa cerita unik. Entah seperti apa yang jelas semua hal kecil di sekitar kita adalah pelajaran berharga. Cerita kali ini yaitu aku ingat jika puasa di rumah ibu pasti akan membangunkan anak-anaknya. Beliau selalu antusias jika persiapan sahur sejak dini hari.

Jika tiba saatnya sahur masakan sudah digelar di atas meja maka kami akan dipanggil oleh ibu. Jika kami tak kunjung bangun biasanya ibu akan datang ke kamar. Tapi kadang aku berpikir harus segera bangun sebelum bapak yang membangunkan. Jangan sampai bapak membangunkan soalnya suara beliau begitu menggelegar. Cuma masalahnya kadang kala anak-anak seperti kami masih ndablek alias sering manja. Hingga akhirnya kami bermalas-malasan untuk bangun sahur.

Akan tetapi beberapa saat kadang aku berpikir jika tidak segera bangun kasihan, ibu pasti menunggu. Beliau berprinsip tak akan memulai makan jika semua anggota belum kumpul. Tidak hanya ketika sahur, di waktu berbuka pun demikian. Bahkan sering beliau hanya sekadar membatalkan puasa dan belum makan sebelum bapak pulang shalat tarawih di masjid.

Barangkali inilah yang ibu ajarkan sebagai sikap ksatria. Sikap yang tentunya mahal dan tidak setiap orang memilikinya. Hal itulah yang tidak aku temui di pondok saat ini. Aku sadari juga bahwa tidak semua santri demikian akan tetapi beberapa di antaranya aku temui. Santri tersebut sering makan sendiri dan meninggalkan temanya yang lain. Sungguh hal ini adalah keegoisan di tengah komunitas santri yang egaliter.

Seharusnya di momen ramadhan ini kita belajar dari ibu atau siapapun bahwa bersikap lebih mementingkan orang lain adalah bagian dari jiwa ksatria. Dengan sikap itulah keegoisan dalam diri bisa dikikis. Sungguh ajaran mementingkan kepentingan umum daripada pribadi harus menjadi habituasi. Karena jika tidak dibiasakan sejak dini orang akan merasa benar sendiri dan merasa semua milik gue. Mari introspeksi diri.

the woks institute l rumah peradaban 3/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde