Langsung ke konten utama

Komitmen Keilmuan ala Prof Mujamil Qomar




Woks

Saya bersyukur selain di S-1 dulu sekarang kembali bertemu dengan Prof Mujamil Qomar di Pascasarjana Studi Islam pada mata kuliah integrasi ilmu dan agama. Pertemuan ini barangkali merupakan hujan bagi tanah gersang. Atau tanda murid untuk terus belajar kepada gurunya.

Prof Mujamil sejak di S-1 sampai sekarang tak ada bedanya, sama-sama serius jika sudah berhadapan dengan mengajar. Beliau tidak bisa membedakan perkuliahan online atau offline, semua sama. Soal jam misalnya beliau selalu perfek dan harus sesuai dengan aslinya. Tapi demikianlah faktanya, Prof Mujamil memang tipe orang yang suka belajar mengajar. Jika sudah tiba di jam beliau maka tidak bisa dihentikan. Beliau akan selalu asyik karena mungkin tujuannya murni agar mahasiswanya maju. Tapi kadang kala itu yang tidak segera kita sadari.

Soal jam mata kuliah, belajar dan mengajar beliau selalu tepat waktu. Termasuk produktivitasnya dalam berkarya beliau memiliki jurusnya tersendiri. Saya pernah tanya apa kuncinya bisa hidup seperti beliau di tengah kesibukan yang mengepung justru masih bisa terus produktif. Beliau menjawab kuncinya adalah komitmen. Jika sudah berkomitmen berarti seseorang siap berhadapan dengan apapun termasuk dengan janjinya sendiri. Dengan komitmen itulah yang membuat beliau luar biasa terutama soal ilmu dan mengajar. Prof Mujamil bahkan mampu menulis di kendaraan umum sekalipun karena komitmen kuat tersebut.

Prof Mujamil percis seperti ungkapan Sayyid Hosen Nasr bahwa beliau adalah sang intelektual sejati, hal itu dibuktikan bahwa kaum intelektual adalah orang yang selalu memikirkan tentang ide dan persoalan-persoalan non material dengan menggunakan akal sehat. Penggunaan akal pikiran sebagai perangkat canggih dari Tuhan harus diupayakan dengan maksimal. Bahkan beliau sering mengajak kepada kami agar berpikir secara metodologis, sistematis dan kritis. Jangan sampai kita terjebak dengan pemikiran doktrinal yang tak jelas penjelasannya. Misalnya kata beliau, kalau kamu jadi guru jelaskanlah pada muridmu dengan sikap ilmiah penuh ilmu jangan hanya "ya itu sudah dari sananya". Sikap demikian itu harus dihindarkan, karena dengan kita menjelaskan secara ilmu maka hal itu sama dengan meyakinkan akan keagamaan. Maka dari itu kalau jadi guru harus menjadi sosok yang profesional dan berwawasan komprehensif.

Kata beliau anak sekarang sudah kehilangan daya kritis bahkan untuk sekadar bertanya saja sudah tak mau. Orang mau melakukan sesuatu harus dipaksa terlebih dahulu. Berbeda dengan anak masa lampau semangat untuk belajarnya tinggi. Antusiasme terhadap hal-hal baru sangatlah terbuka. Oleh karena itu sekarang kita bisa melihat output mahasiswa dulu tentu berbeda dan bisa diperhitungkan.

Beliau kadang menyayangkan kepada generasi saat ini mengapa mengalami keterpurukan justru di era keberlimpahan. Bayangkan saat ini kita dipermudah dengan banyak hal termasuk akses informasi akan tetapi hal itu justru membuat kita terlena. Keberadaan internet dengan segala hal praktisnya justru membuat kita malah malas tak mau berpikir. Akibatnya tak ada hal baru yang dihasilkan sebagai karya lebih lagi bersifat inovasi. Jika sudah demikian apa yang mau diharapkan dari generasi saat ini, kemajuan? tak akan mungkin lahir jika tidak dari jerih payah, fokus, semangat belajar dan terus produktif. Di sinilah kita tengah belajar kepada sosok berkarakter dan luar biasa bernama Prof. Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag.

the woks institute l rumah peradaban 1/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde