Langsung ke konten utama

Catatan Safari Literasi di Pondok Putri Sunan Pandanaran PPHM Ngunut




Woko Utoro

Pagi itu pukul 9 kurang seperempat saya meluncur ke Pondok Ngunut Pusat. Kami bersama Tim SPK TA tiba di sana sekitar pukul 9 lebih 15 menit. Kebetulan tuan rumah diwakili Mas Fauzi telah menunggu kami sejak waktu yang ditentukan. Saya, Mas Roni, Mba Zidna dan Bu Filza (menggantikan Mba Ekka yang berhalangan hadir) memang sejak beberapa hari lalu diminta mengisi kegiatan Diklat Literasi. Kebetulan program SPK TA sendiri yaitu safari literasi atau Goes to School sangat sinkron.

Singkat kisah kami meluncur ke tempat acara masing-masing. Mba Zidna dan Bu Filza bertugas di Pondok Putra PPHM Pusat sedangkan saya dan Mas Roni di Pondok Putri Sunan Pandanaran. Acara ini dilaksanakan oleh pengurus OSIS dan eskul literasi Jawara. Kebetulan Mas Fauzi menjadi salah satu pembinanya. Kata beliau kemampuan menulis anak-anak itu luar biasa. Di tengah kepadatan jadwal ngaji dan sekolah mereka masih bisa berprestasi di bidang tulis menulis. Kata Mas Fauzi menulis itu ibadah maka dari itu terus tingkatkan tradisi keulamaan tersebut.

Waktu beranjak siang acara pun dimulai. Seperti biasa selepas seremoni kami pun memulai dengan Mas Roni tampil sebagai pembicara pertama. Mas Roni menyampaikan panjang lebar seputar menulis serta mengupas cerpen begitu lengkap. Kata Mas Roni menulis itu membutuhkan kemauan dan konsistensi. Tanpa kemauan tulisan tak akan jadi. Tanpa konsistensi menulis akan mudah puas dan tidak ter-upgrade.

Mas Roni juga banyak mencuplik kisah-kisah tokoh nasional maupun dunia yang membuktikan konsistensi serta dampak dari menulis. Misalnya bahwa rutinitas menulis bisa membuat seseorang lebih sehat. Termasuk tradisi menulis mampu menjaga kesehatan mental dll. Singkat kata selepas Mas Roni usai giliran saya tampil untuk sesi kedua.

Saya hanya menyampaikan tambahan saja. Karena semua materi berkaitan menulis dan cerpen sudah dibahas oleh Mas Roni. Saya hanya memberikan ice breaking dan mindset bahwa menulis itu penting. Bahwa menulis itu aktivitas luar biasa yang tidak setiap orang menekuninya. Saya bahkan berseloroh pada mereka bahwa bisa bicara di depan seperti ini karena berkah menulis. Tentu hal tersebut akan digantikan oleh peserta mungkin 5-7 tahun mendatang.

Saya menjelaskan sekaligus memastikan bahwa menulislah sesuai genre yang disukai. Intinya kita bisa menulis apapun sesuai dengan minat termasuk sastra dan khususnya cerpen. Menulis sastra malah justru banyak keunggulan. Misalnya menulis biografi umumnya hanya mengupas kebaikan tokoh sedangkan menulis sastra justru mengupas banyak hal bahkan mampu mendobrak kemapanan. Salah satu inspirasi sastra dalam hal ini cerpen tentu dunia pesantren. Seperti yang kita ketahui masih sedikit jumlah cerpenis dari kalangan santri.

Singkat kisah acara pun usai. Di antara sela-sela acara tersebut kami memberikan reward berupa buku kepada peserta yang bertanya dan berani maju. Termasuk bertukar buku untuk panitia dari narasumber. Selanjutnya saya justru tertarik pada pertanyaan peserta bagaimana melatih percaya diri, menghilangkan rasa malas dan perihal promosi buku.

Menurut saya percaya diri itu mudah. Kita hanya perlu pembiasaan alias berlatih. Jika dalam konteks bicara di depan umum maka taklukkan dulu diri sendiri setelah itu percaya diri secara alamiah akan terlahir. Karena bisa itu sebab terbiasa. Pertanyaan kedua bahwa malas itu tidak bisa dihilangkan. Rasa malas hanya bisa dikelola atau dikendalikan. Lagi-lagi kuncinya adalah diri kita sendiri. Tidak mungkin dalam hidup malas mendominasi justru tantangan itulah yang harus dilakukan sedini mungkin.

Terakhir promosi buku itu mudah. Kita hanya cukup memanfaatkan media sosial. Karena penulis itu juga sama seperti petani. Petani menanam padi atau sayur sedangkan penulis menanam kata, menyemai pengetahuan dan gagasan. Maka untuk memasarkannya biarkan medsos dan orang terdekat yang membrandingnya. Selebihnya serahkan pada sistem takdir Allah. Jika tulisan kita bagus maka Allah yang akan menggerakkan hati orang untuk membeli dan membacanya.

Terakhir acara ini selesai pada pukul 12 siang. Kami pun mengabaikan diri dengan foto bersama. Dan di luar dugaan ada beberapa santri yang minta tanda tangan sebelum kami pamit. Padahal kami bukan artis haha. Salam Literasi.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/1/24

Dokumentasi foto
























Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde