Woko Utoro
Hormat, taat dan segan menjadi lema yang menarik ketika kita bahas dalam dunia santri. Dunia santri adalah wilayah sebuah komunitas etik dan agamis. Maka dari itu tiga lema tersebut memiliki kekhasanya tersendiri. Ketika kita membaca kata tersebut mungkin bertanya lantas di mana letak menariknya. Mari kita bahas.
Terkait kata tersebut saya mendapatkan dari KH Andi Ali Akbar yang mengutip Ta'lim Mutaalim al hurmatu afdholu minat thoat termasuk juga dari sumber lain. Menurut sang kiai hormat itu berbeda dengan taat. Misalnya jika santri disuruh bersihkan halaman depan pondok oleh pengasuh lalu dia melakukannya maka itu "santri taat". Di lain waktu jika santri melihat halaman kotor lantas dia membersihkannya tanpa ada perintah atau lebih tepatnya inisiatif maka santri tersebut "hormat". Maka di sini jelas bahwa taat lebih luas spektrum wilayahnya daripada sekadar taat.
Bisa jadi orang taat hanya karena takut atau terpaksa. Sedangkan orang hormat terbangun atas kesadaran penuh tanpa embel-embel apapun. Dalam diskursus leadership orang yang sekadar taat dengan tertekan misalnya biasa disebut disiplin bangkai. Artinya kedisiplinan yang terbentuk secara statistik akibat konstruksi keadaan.
Menurut Gus Miftah misalnya seorang istri diminta suaminya untuk makan terlebih dahulu karena mungkin sedang bekerja. Sedangkan istrinya mengelak untuk tidak makan dan hanya ingin menunggu suaminya maka istri tersebut tidak taat tapi dalam rangka hormat. Sebaliknya jika suami meminta istrinya makan terlebih dahulu dan segera saja sang istri makan maka ia taat tapi kurang hormat alias ceniningan. Di antara penawaran pertama itu mungkin saja orang Jawa menyebutnya "basa-basi, abang-abang lambe atau lipe service".
Lantas bagaimana dengan segan. Di Jawa segan bisa diartikan sungkan. Atau sebuah sikap menolak dengan halus. Bisa juga berarti menaruh rasa hormat serta sikap rendah hati yang tinggi. Atau juga sebuah sikap merasa tidak enak. Contoh orang segan atau sungkan pada sosok yang memiliki kharisma. Misalnya santri sungkan mencium tangan kiai jika tanpa ada momen tertentu. Atau santri segan berjalan jika kiai-nya sedang lewat di jalan.
Menurut Andree Feillard sungkan adalah sikap tertinggi dalam aktivitas sosial orang Jawa. Jika dalam masyarakat sikap sungkan ini hidup maka orang cenderung angkuh. Hidup menjadi merasa milik sendiri sedangkan orang lain tidak begitu dianggap keberadaannya. Maka dari itu sikap sungkan sebenarnya sangat penting untuk menjaga jarak antara orang dengan kepentingan lainnya. Jarak tersebut bukan karena terjadi gesekan melainkan menempatkan perasaan di atas kendali ego.
Intinya jika di masyarakat perasaan sungkan masih ada maka setidaknya etika sosial selalu berlaku. Sebaliknya jika orang sudah tidak memiliki rasa malu maka hal ini bisa berbahaya bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Kita harus tahu dan pintar untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.[]
the woks institute l rumah peradaban 9/1/24
Komentar
Posting Komentar