Langsung ke konten utama

Wejangan Abah Nafis Yang Menggugah Jiwa




Woko Utoro

Sore di tengah rintik hujan tepat akhir hari Minggu. Saya ikut dalam rombongan Mas Jaza untuk sowan ke ndalem Abah Nafis. Kebetulan saya bertugas sebagai penunjuk arah. Hingga akhirnya kami tiba di sana mungkin sekitar 30 menit sebelum magrib tiba. Di 30 menit itulah kami berbincang dengan beliau yang penuh kehangatan.

Mas Jaza adalah kawan saya satu organisasi dan satu fakultas bahkan hingga kini. Sedangkan Abah Nafis adalah Dr. H. Muntahibun Nafis, M. Ag, beliau merupakan ketua LP2M bagian pengabdian kepada masyarakat. Beliau juga merupakan direktur Pusat Studi Pesantren (PSP) UIN SATU Tulungagung sekaligus pengasuh Yayasan Nur Shulthan Al Hamidi, Pesantren Al Mimbar, Mushola Mu'ashomah dll. Intinya jika menyebut Abah Nafis adalah sosok yang multitalenta, beliau apa saja bisa dan bisa apa saja termasuk ceramah.

Mas Jaza dan rombongan memang berniat untuk mengundang Abah Nafis agar berkenan mengisi di PP Walisongo Wonodadi Blitar. Dalam edisi sowan tersebut Abah Nafis berkisah banyak hal utamanya seputar hidup. Misalnya beliau berkisah jika dulu pernah hidup di pasar. Beliau mengembangkan usaha milik mertua hingga akhirnya maju pesat. Walaupun kerja di pasar itu keras setidaknya kita belajar untuk menghayati ragam masyarakat. Hikmahnya saat ini kita bisa menghargai masyarakat dengan berbagai karakter. Sehingga dari itu kita akan tahan banting.

Beliau juga berkisah barokahnya menjadi santri. Misalnya dulu beliau sering diminta memimpin do'a dan kini seolah banyak orang yang percaya kepada beliau atas segala pengalaman hidup. Intinya kita harus yakin kepada Allah. Beliau sudah membuktikan bahwa santri bisa menjadi apa saja. Asal memiliki tekad yang kuat serta usaha nan gigih dalam meraih cita-cita. Tidak usah malu dan tetap rendah hati. Bukankah rendah hati itu ajaran yang lama telah kita pelajari sejak di pesantren. Maka hal inilah yang harus disuguhkan ke masyarakat khususnya pendidikan nasional.

Soal ekonomi kita harus menjadi pribadi yang bisa dipercaya. Karena kepercayaan itu mahal harganya. Pernah beliau berserikat dengan orang Cina, karena sudah dipercaya maka beliau diminta memasarkan roti milik perusahaan Cina tersebut. Bahkan beliau pernah keliling ke luar daerah untuk mencari modal usaha. Intinya hidup itu harus berusaha. Jangan batasi diri dengan pikiran sempit. Ingat bahwa rezeki itu amat luas dan Allah selalu memiliki caranya sendiri untuk hambanya. Seperti beliau yang juga tidak menyangka bisa jadi dosen dan pernah singgah ke Mekah, Syiria, hingga Melbourne Australia.

Terakhir, beliau berpesan seraya berdoa semoga yang sedang sekolah atau mondok diberikan futuh, kemudahan dalam belajar dan memahami. Termasuk mendapatkan ilmu yang barokah manfaat. Bagi yang belum menikah segeralah menikah. Karena lewat pintu pernikahan aneka ragam rizki akan dibuka oleh Allah. Maka dari itu untuk para jomblo perbanyaklah shalawat, semoga jika sudah tiba waktunya akan disegerakan dan mendapatkan pasangan yang terbaik.[]

the woks institute l rumah peradaban 30/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde