Langsung ke konten utama

Menulis di Tengah Gelombang Budaya Pop




Woko Utoro


Membincang kebudayaan memang selalu menarik. Pasalnya kita selalu bertanya-tanya kebudayaan seperti apa yang masih tersisa di zaman ini. Ternyata di era digitalisasi kebudayaan baru lahir tanpa disadari. Salah satunya menulis dengan memanfaatkan teknologi dan turunannya. Tentu budaya baru tersebut perlahan menggeser kebudayaan kertas atau semacam budaya konvensional lainnya di luar produk teknologi.


Kita sudah jarang melihat orang menulis dengan memanfaatkan kertas. Paling dekat tentu siswa sekolah yang masih memanfaatkan kertas sebagai media tulis. Bahkan ironisnya kini mahasiswa jarang menulis dengan alasan semua sudah ada di internet. Internet dan kecanggihan teknologi memang menjadi tulang punggung baru masyarakat modern saat ini. Piranti teknologi dianggap lebih elektrolis dibandingkan buku atau kertas. Dalam hal kapasitas penyimpanan mungkin faktanya demikian. Tapi sekaligus membuat masyarakat kita bodoh. Tumpul berpikir dan tidak gemar berdialektika. Mereka bergantung pada sesuatu yang ternyata problematik. Error.


Kendati teknologi begitu canggih apakah budaya menulis tinggi. Ternyata tidak juga. Budaya menulis kita masih belum terbangun dengan baik. Walaupun kecerdasan buatan (AI) terus digalakkan faktanya menulis bukan bagian penting dalam mengembangkan hidup. Anggapan tersebut didasarkan bahwa menulis hanya serangkaian teks. Padahal menurut Gol A Gong dan Agus M Irkham menulis bukan semata teks, ia adalah anak rohani. Hanya para perenung yang mau membagi waktu yang dapat menulis. Sebab menulis tidak bisa dilakukan sembarang. Kecuali hasilnya tidak menarik.


Menulis itu butuh waktu khusus. Butuh komitmen kuat untuk dapat menyelesaikan kata-kata. Menulis itu seni menyendiri atau bahasa Ignas Kleden (1999) menjadi individualisme kebudayaan. Jadi tidak bisa tulisan dihasilkan dari simsalabim. Seperti halnya tumbuhan dan ternak semua memiliki perlakuan khusus termasuk menulis. Terlebih tulisan yang memanfaatkan media sosial harus perlu dipoles. Karena tanpa sikap kritis tulisan di medsos bisa menjadi macan yang siap menerkam kapan saja. Tulisanmu adalah batu sandungan mu.


Walaupun saat ini budaya populer mengepung kita. Toh faktanya menulis tidak bisa asal-asalan. Cuma karena AI memudahkan semua kita justru berharap lebih pada aktivitas tersebut. Dalam hal menulis mungkin bisa dimanipulasi karena keberadaan AI. Tapi soal cita rasa tak akan bisa dibohongi. Kata Seno Gumira Ajidarma penulis itu tukang, butuh skill dan tlaten, mengenai segala ragam kata. Itulah yang membedakan kita dengan robot.


Maka dari itu menulis di tengah arus budaya populer masih akan sangat relevan. Budaya menulis tak akan terganti oleh apapun. Justru dengan tulisan merupakan salah satu media paradigmatik. Menulis mengajarkan orang untuk berpikir sistematis. Di era medsos yang menyuburkan budaya oral, tulisan justru sangat penting keberadaannya. Tulisan tidak hanya berpihak tapi juga menjadi alternatif saat dunia beku. Lewat tulisan ragam ide dan gagasan bisa tersampaikan. Jangan sampai kita berpikir untuk apa menulis. Seharusnya berpikirlah menulis apa. Jika menulis sudah tidak lagi dianggap penting, berarti kita telah kalah.[]


the woks institute l rumah peradaban 18/1/24


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde