Langsung ke konten utama

Literasi Digital Untuk Melahirkan Pemilu Damai




Woko Utoro


Pemilu tinggal menghitung hari. Masyarakat tentu harus bersiap menghadapi pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Kesiapan tersebut salah satunya dengan memahami arti praktis mengenai literasi digital. Apa literasi digital dan mengapa penting kita ketahui.


Di momentum menghadapi pemilu seperti saat ini memahami literasi digital merupakan keharusan. Pasalnya dengan kita cakap digital akan memudahkan untuk mengetahui beragam informasi yang tersebar melalui perangkat teknologi berbasis internet. Tidak hanya menjelang pemilu, literasi digital diperlukan sebagai upaya membentengi diri dari kejahatan media siber. Maka literasi digital adalah sebuah kemampuan untuk mengoperasikan, mengoptimalkan, mendayagunakan, mengolah serta mengevaluasi teknologi dengan baik.


Digitalisasi yang masif pasca ditemukannya internet dalam sistem komputasi mengharuskan kita adaptif secepat mungkin. Hal itu dikarenakan pergerakan kemajuan begitu tak terkendali. Akibatnya segala macam data dan informasi menyebar secepat kilat tanpa diketahui mana yang benar dan salah. Ada 4 pilar digital dari Kominfo sebagai indikator keberhasilan kita dalam menggunakan perangkat digital. Pertama, Skill digital adalah kemampuan mengoperasikan produk digital seperti smartphone dengan baik. Kemampuan inilah yang membekali seseorang untuk mengetahui peran dan fungsi digital secara optimal.


Kedua, Culture digital adalah budaya baru yang lahir akibat memanfaatkan teknologi. Budaya tersebut harus dipahami dengan pengetahuan berbasis jurnalistik. Karena budaya digital melahirkan kecepatan, efisiensi dan perubahan. Ketiga, Ethic digital atau kemampuan untuk mengenali nilai dan norma yang berlaku ketika memanfaatkan piranti digital. Keempat, Safety digital kemampuan untuk mengelola keamanan terkait data, akun maupun password berkaitan dengan privasi pengguna.


Keempat kemampuan tersebut jika dimiliki setiap orang maka dapat dikatakan sebagai cakap digital. Cakap digital itulah yang menjadi harapan utama Kominfo dalam gerakan nasional melek literasi digital. Hal itu pula menjadi indikator bahwa pengguna digital di Indonesia telah cerdas. Terutama di tahun politik literasi digital menjadi dasar seseorang untuk menghindari gesekan. Dengan literasi digital kita turut menyemai nilai-nilai demokrasi berupa toleransi, sikap santun, saling menghormati dan bersikap lapang dada ketika pilihannya kalah.


Harapannya dengan mempelajari literasi digital kita turut menyebar konten yang inklusif, menyejukkan. Karena bagaimana pun juga dampak dari pemilu tahun 2019 masih terasa hingga kini. Hal itu tentu dipicu karena keberadaan media sosial yang tak terkendali. Informasi dan beragam kepentingan juga seperti bola salju, tak dapat dibendung. Jadi melalui literasi digital masyarakat harus cerdas bahwa di era ini segala kemungkinan bisa terjadi.[]


the woks institute l rumah peradaban 27/1/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde