Woko Utoro
Jika ditanya ada berapa toko buku di Jogjakarta tentu kita masih mudah menjawabnya. Tapi jika ditanya ada berapa toko buku yang bertahan di Tulungagung kita akan berat hati untuk mengatakan ada tapi tidak banyak. Keadaan itulah yang juga dialami kota lain di mana toko buku sudah di ujung senjakala. Toko buku menjadi langka terlebih pembacanya. Di Tulungagung sendiri keberadaan kampus dan lembaga pendidikan lain tidak menjamin toko buku bertahan. Lantas apakah hal itu menjadi indikator bahwa kota ini tidak suka membaca? Entahlah.
Faktanya demikian bahwa di Kota Marmer ini semakin hari pusat perbelanjaan terus dibangun. Di mana-mana kita dapati toko-toko perbelanjaan. Belum lagi keberadaan toko ritel dan warung kopi semakin berjamuran. Lantas bagaimana dengan toko buku atau perpustakaan sebagai jantung orang-orang suka membaca. Rasanya kita sudah bisa menebaknya bahwa toko buku dan perpustakaan bukan prioritas utama. Bahkan untuk sekadar diperbincangkan pun kini tak terdengar lagi gaungnya. Paling hanya sesekali ketika bulan bahasa atau event literasi berlangsung.
Mengapa membaca itu harus dibudayakan? karena hanya dari membaca kita akan tahu tentang suatu masalah sekaligus solusinya. Membaca akan belajar dari masa lalu untuk melihat masa depan. Lewat bacaan kita akan membangun peradaban. Selama ini ironis jika indikator kemajuan disandarkan pada ideologi pembangunan dalam artian infrastruktur bukan sumberdaya manusianya. Padahal dengan membaca kita tengah membangun peradaban berpikir. Terbukti dengan bacaan masyarakat tercerahkan.
Mengapa membaca itu penting? karena lewat membaca (reader society) akan membentuk masyarakat pembelajar (learner society) setelah itu jadilah masyarakat religius (religion society), dan masyarakat utama (advance society). Dampak membaca memang luar biasa dan hal itu telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Rerata orang-orang besar terdahulu yaitu manusia yang gemar membaca. Dari bacaan itulah yang akan terus memberikan pencerahan akan arti perubahan.
Dari membaca kita akan memiliki pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) dan tidak cukup di sana tapi ditingkatkan menuju pengetahuan melakukan sesuatu (procedural knowledge). Semakin banyak membaca maka semakin terbuka jalan pikirannya. Sedikit membaca akan sulit mengembangkan diri terlebih komunikasi secara sosial. Di masyarakat kita membaca masih di level emosional belum rasional. Pembaca emosional lebih berkonotasi pada ego narsisme alias pamer sedangkan pembaca rasional pertimbangan utama adalah kebutuhan.
Lantas sejauh ini apakah membaca masih menjadi barang langka. Atau justru dikalahkan oleh serangkaian ketamakan kapitalisme. Entahlah kita selalu tidak tahu. Kita sebagai pegiat literasi hanya mengerti bahwa membaca itu lebih penting dari budaya belanja. Membaca harus menjadi prioritas utama sedangkan belanja hanya tambahan saja. Lewat membaca kita seharusnya mampu mengontrol ego konsumerisme akut bukan malah sebaliknya. Bacaan kita masih mengarah pada tujuan pragmatisme belaka. Jadi bagaimana Tulungagung ini cocok sebagai kota baca atau kota belanja?
Catatan: judul tulisan di atas terinspirasi dari Buku Gempa Literasi (2012) karya Gol A Gong dan Agus M Irkham penerbit KPG.
the woks institute l rumah peradaban 19/1/24
Komentar
Posting Komentar