Langsung ke konten utama

Catatan Kegiatan Sekolah Kepenulisan KSPI Bersama Woks Institute




Woko Utoro

Senang rasanya saya bisa berbagi bersama teman-teman mahasiswa Psikologi Islam. Mereka menyebut sebagai Kelompok Studi Psikologi Islam Al Aydin (KSPI). Di hari Minggu dengan cuaca hujan dan beberapa hari menjelang puasa Ramadhan masih ada kegiatan mahasiswa, wah ini unik kata saya. Jarang ada kegiatan semacam itu kalau tidak terpaksa atau memang faktanya sudah terjadwal.

Acara tersebut mereka buat dengan nama Sekolah Kepenulisan dan membawa tema, "Berkarya dengan Kata". Bertempat di Raos Kopi Plosokandang dan acara dimulai sekitar pukul 9:30 WIB. Awalnya saya senang karena menurut panitia peserta yang hadir ada 10 orang. Kata saya baguslah karena untuk mengguncang dunia hanya perlu 10 orang tidak 24.

Akhirnya acara pun dimulai dan saya pun mempersiapkan diri. Pertama acara dibuka oleh MC yaitu Mba Emy, sambutan ketupel Mba Chumairoh dan ketua KSPI Mas Korea Haqy. Acara ini dihadiri oleh Mba Tirta selaku founder dan dimoderatori Mba Shofiya. Setelah usai barulah giliran saya tampil menyampaikan materi.

Saya menyampaikan bahwa sebelum menulis kita harus mengerti prinsip dasarnya. Karena dari prinsip tersebut seseorang akan tergerak untuk menulis. Prinsip tersebut di antaranya: karena bacaan, kebermanfaatan, tersemainya pengetahuan, hobi hingga passion. Orang menulis biasanya karena mereka seorang pembaca. Jarang ada orang menulis tapi malas membaca. Karena bacaanlah yang mendorong mereka menulis. Tanpa bacaan apa yang hendak ditulis.

Para penulis akan sadar bahwa menulis itu bermanfaat setidaknya buat dirinya. Kebermanfaatan itulah asas di mana penulis menginginkan berbagi lewat pengetahuan. Dengan menulis pengetahuan akan terus tersebar, tidak statis dan mandek. Jika menulis sudah menjadi hobi dan passion maka mereka akan terus menulis sekalipun sudah lulus kuliah. Karena menulis itu bukan karena dituntut selama di kampus melainkan menjadi bagian hidup.

Selanjutnya saya menjelaskan tipe tulisan dan secara spesifik yaitu esai. Esai adalah tulisan yang mengkombinasikan opini dan fakta. Biasanya ditulis dengan format pembuka, isi dan penutup. Tulisan tersebut bisa bahasa keseharian, populer hingga ilmiah bahkan boleh sedikit sentuhan sastrawi. Di sinilah saya menjelaskan panjang lebar seputar esai, mengapa penting menulis dan bagaimana cara menulisnya. Hingga di akhir sesi kita mempraktekkan menulis bebas (free writing), menulis populer dengan judul dan menulis refleksi. Singkat kisah mereka mampu mempraktekkannya dan hal itu tinggal perlu pembiasaan.

Setelah praktek menulis acara ditutup dengan ragam pertanyaan hingga sesi foto bersama. Kebetulan pertanyaan pertama dari peserta mendapatkan hadiah buku dari saya. Di akhir sesi saya beresan bahwa di manapun acara serupa hanya perlu berlatih. Karena sebenarnya setiap orang bisa menulis. Yang membuat mereka tidak menulis karena kemalasannya. Ingat menulis itu bukan kepentingan setiap orang, melainkan kepentingan sejarah.[]




the woks institute l rumah peradaban 11/3/24







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde