Langsung ke konten utama

Usia Metode Hisab Alami Manusia




Woko Utoro

Islam adalah agama nasihat. Ragam nasihat kehidupan tertera melimpah di berbagai literatur. Terkhusus al Qur'an sebagai kitab suci dan sunnah nabiNya lebih dari cukup untuk memberi petunjuk dan nasihat. Di luar itu ayat-ayat kauniyah atau gejala alam juga memperkaya nasihat untuk manusia. Salah satu pemberi nasihat terbaik adalah usia atau umur.

Dijelaskan bahwa usia terbagi menjadi 3 yaitu usia biologis, usia numerik dan usia agama. Pertama usia biologis adalah usia di mana seseorang terlahir dari rahim ibu. Usia yang dicatat setelah melewati fase 9 bulan dalam kandungan. Usia biologis bisa diartikan usia fisik. Kedua usia numerik yaitu usia di mana seseorang tertulis bukan berdasarkan angka melainkan pemikirannya. Usia numerik selalu bertolak belakang dari fisiknya. Justru kadangkala usia numerik bisa lebih tua dari fisik biologis.

Ketiga usia agama yaitu usia di mana seseorang benar-benar meyakini ajaran agama sebagai petunjuk kehidupan. Usia agama pun sama seperti usia numerik dan tidak terpaku pada fisik melainkan pada penghayatan terhadap ajaran agama. Bisa jadi orang dewasa yang mualaf usia agamanya sama dengan anak-anak dengan pemahaman agama warisan. Maka usia agama bisa lebih muda dari usia biologis maupun usia numerik.

Jika kita mau menghayati lebih dalam usia tersebut sebenarnya bisa menjadi pelajaran. Paling sederhana misalnya usia biologis. Di mana biasanya para pendakwah mengingatkan kita jika muda akan menua. Jika uban telah tumbuh, gigi tanggal, kulit keriput serta pergerakan semakin sempit maka bersiaplah batas usia makin menipis. Tentu sebagai umat akhir zaman kita hanya diberi waktu hingga 63 tahun bisa kurang atau lebih.

Maka mumpung usia masih muda. Masih bisa berlari dan berkarya. Teruslah menanam kebaikan. Teruslah mendekatkan diri kepada Allah. Bukankah kata Imam Ghazali di bawah tanah sana ada jutaan orang yang jika ditanya keinginannya hanya satu yaitu hidup kembali dan bisa beribadah kepada Allah. Sehingga dengan usia tersebut sebenarnya kita tengah diajari arti kesempatan. Gunakan masa lapang mu sebelum sempit mu.

Lewat usia tanpa disadari kita telah dihisabnya dengan begitu natural. Tanpa perlu pengingat yang sulit justru usai sudah menjadi bagian penting kehidupan. Usia akan selalu melekat mengikuti alur hidup manusia. Kecuali jika Tuhan sudah mengatakan saatnya pulang nak, maka terputuslah segala amal perbuatan. Kecuali budi baik yang ditinggal ia akan abadi sekalipun fisik biologis telah berkalang tanah. Ia akan tetap mewangi dan terus tumbuh. Maka cukuplah usia sebagai alarm, sebagai guru, dan sebagai tanda-tanda bagi mereka yang berpikir.[]

the woks institute l rumah peradaban 21/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde