Langsung ke konten utama

Catatan Outbound ke Kota Batu





Woko Utoro


Barangkali ini menjadi salah satu pengalaman menarik buat saya. Pasalnya perjalanan kali ini menyimpan banyak pelajaran. Kendatipun perjalanan serupa bukanlah hal baru bagi saya. Apalagi jika berkaitan dengan outbound atau fun game saya tentu pernah mengikuti sejak aktif di Pramuka. Yang jelas saya perlu mengabadikan perjalanan singkat tersebut.





Pertama saya diajak oleh Pak Iwan (Mentor di Vokasi Catfish BLK Tulungagung) dan Komandan Sukaryono (Coach PMD di BLK Tulungagung) untuk turut serta dalam kegiatan outbound. Kata beliu berdua acara tersebut kitalah yang akan menjadi fasilitator nya. Mak dari itu kita perlu membentuk tim dan akhirnya bersama dua mentor dan ditambah Mba Anggi (Siswa Vokasi Administrasi Perkantoran BLK Tulungagung) jadilah tim dadakan.





Kami mengikuti kegiatan yang diadakan oleh EO Mahapraja Corp bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Bertempat di Singhasari Resort Batu. Acara dimulai pukul 08:00 pagi. Sedangkan kami berangkat dini hari untuk menghindari macet. Hampir saja saya terlambat karena Komandan Sukaryono sudah hampir marah karena telponnya tak kunjung berbalas. Akhirnya dengan ngebut saya berangkat ke BLK untuk menuju ke rumah Pak Iwan di Srengat.





Ketika kami hampir sampai ke rumah Pak Iwan. Di sana terjadi insiden kecil yaitu maps kami justru menunjukan jalan yang salah. Akhirnya kami harus putar balik beberapa gang. Singkat kisah kami langsung meluncur menuju Kota Batu sekitar pukul 03:00 pagi. Seperti biasa saya langsung terlelap tidur di manapun tempatnya. Sekitar pukul 05:00 pagi kami sampai di Masjid Miftahul Ulum Jetis Dau Mulyoagung. Di masjid ini kami shalat shubuh dan uniknya tidak berjamaah. Saya sendiri sempat tertawa, lho kenapa shalat sendiri-sendiri. haha





Setelah itu bersih diri dan kami melakukan briefing. Tujuannya briefing tak lain untuk menyamakan persepsi agar acara berjalan maksimal. Setelah itu kami meluncur ke lokasi acara di Singhasari Resort sekaligus prepare media outbound. Di sana kami juga mencoba gladi dan mempersiapkan segala sesuatunya jika terjadi kekurangan. Hingga semua beres kami pun langsung bersantap pagi.


Setelah itu acara dimulai. Komandan Sukaryono, Pak Iwan dan Mba Anggi pun beraksi. Sedangkan saya bagian operator musik, alat dan seksi wira wiri. Acara sejak awal nampak seru. Komandan Sukaryono yang basic tentara tentu membuat peserta fokus mengikuti kegiatan. Di sanalah begitu nampak keseruan. Tentu kegiatan seperti menyanyi, estafet bola, kaki seribu, gapit tongkat, estafet sarung hingga bermain angka justru menimbulkan kebersamaan. Tak ada sesuatu yang lebih berharga senilai kebersamaan.


Singkat kisah dalam rangkaian acara sekitar tiga jam tersebut akhirnya usai sudah. Peserta pun mendapatkan hadiah dari panitia. Setelah itu kami foto bersama dan beramah tamah. Setelah acara selesai kami bertolak ke Batu atas untuk bersantap siang. Kami pun menentukan pilihan ke Resto Waroeng Bamboe. Sebuah warung makan yang ndak ngawak i atau tidak nampak jika itu rumah makan. Tapi setelah masuk ke dalam suasananya begitu syahdu.


Tempat makan yang recommended buat para pelancong. Selain menunya yang variatif di sana juga kita disuguhkan makan di atas kolam koi yang segar. Kita juga bisa membeli pakan untuk mendapatkan sensasi berdekatan dengan si koi. Waktu pun sudah mendekati dzuhur kami pun melaksanakan shalat Jum'at di Masjid Jami al Falah Bukit Berbunga Sidomulyo Batu. Kebetulan letaknya tidak jauh dari waroeng bamboe tempat kami makan. Setelah usai shalat kami makan siang bersama. Setelah itu langsung bertolak menuju Tulungagung.


Sepanjang jalan Kota Batu hingga Malang tentu kami menikmati perjalanan. Terutama saya yang tidak tahu hanyak hal tentang Malang adalah pengetahuan baru. Walaupun sering mengantuk saya tentu puas bisa melihat suasana kampus besar di Malang seperti UMM, UIN Malang, UNISMA hingga Poltekkes dll. Bahkan kami juga sempat masuk ke kampus Poltekkes untuk menjemput adiknya Pak Iwan. Hingga sore kepulangan kami disertai kemacetan sekitar 5 km. Tentu momen inilah yang paling melelahkan.


Ketika usai dari kemacetan kami langsung tancap gas. Malam sekitar pukul 17:45 kami sampai di Srengat. Tak lupa Pak Iwan kembali membawa kami bersantap sore menikmati bakso Srengat yang khas. Setelah itu barulah kami sampai di rumah Pak Iwan. Hingga malam tiba selepas isya kami pun pulang ke tempat masing-masing. Tentunya saya tak akan melupakan perjalanan singkat ini. Kata orang satu-satunya hal yang selalu tertinggal dalam setiap perjalanan adalah kenangan. Kenangan selalu menetap di tempat yang kita tinggalkan.[]


the woks institute l rumah peradaban 9/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde