Langsung ke konten utama

Kucing dan Narasi Kesetiaan




Woko Utoro

Siapa yang tidak suka kucing. Hewan berbulu lembut itu hampir selalu ada di setiap rumah. Bagi pecinta kucing tentu harimau kecil itu merupakan idola. Selain karena tingkah polanya yang lucu, kucing juga merupakan sahabat. Tapi tidak semua orang suka kucing, misalnya karena bulunya yang membuat bersin atau tidurnya dianggap simbol pemalas.

Sebenarnya saya bukan pecinta kucing tapi secara alamiah mencoba menyukai. Karena mau tidak mau kucing menjadi dunia yang tak terpisahkan. Hampir tiap hari saya bertemu kucing entah di pondok atau di rumah teman. Bahkan tanpa disadari di rumah saya banyak kucing padahal entah darimana asal mereka. Semua kucing tersebut tentu saya turut memberinya makan. Salah satu hal menarik dari kucing adalah kesetiaannya.

Seperti halnya anjing atau hewan rumahan lainnya kucing juga memiliki pola kesetiaan pada majikan. Misalnya mereka akan tahu mana majikan yang penyayang dan bengis. Salah satu tingkah pola mereka yaitu sering mengikuti kemana kita pergi orang Jawa sering menyebut ndusel-ndusel. Atau membalas meongan ketika kita memanggilnya. Bahkan ada juga yang selalu tidur di samping majikannya.

Bicara kucing memang menarik. Hewan tersebut bahkan menjadi yang dilindungi oleh aktivis pecinta hewan. Pasalnya masih marak para sindikat perdagangan hewan ilegal. Bahkan tidak sedikit kucing-kucing ditelantarkan majikannya. Maka dari itu Nabi Muhammad SAW mengancam bagi mereka yang melakukan semena-mena terhadap kucing atau dalam tataran luas kepada setiap yang bernyawa (hewan tumbuhan). Pada prinsipnya jika kita memiliki hewan atau tumbuhan maka peliharalah dengan baik. Karena resiko orang memiliki peliharaan adalah ngramut, ngopeni, memperlakukan dengan baik.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa hewan peliharaan seperti kucing tidak diragukan lagi kesetiaannya. Mereka akan selalu siap sedia di rumah. Si kucing kadang jika majikannya sakit mereka turut tidak nafsu makan. Bahkan ada juga yang turut bersedih atau tidak bergairah ketika majikannya meninggal dll.

Demikian barangkali narasi sederhana tentang kesetiaan seekor kucing. Yang jelas si kucing telah mengajarkan pada kita tentang arti kelucuan dan kesetiaan. Kata Kiai Said jadilah manusia yang hewan saja merasa nyaman jika kita di sampingnya, jangan sebaliknya.[]

the woks institute l rumah peradaban 12/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde