Langsung ke konten utama

Tiga Pekerjaan Yang Tinggi Derajatnya





Woko Utoro

Pernah dengar lagu Bang Haji Rhoma Irama judulnya "Seribu Satu Macam". Lagu tersebut menggambarkan ragam pekerjaan yang ada di masyarakat. Bahkan Bang Haji memasukkan pekerjaan menjual kehormatan sebagai kritik sosial. Lantas adakah apa saja pekerjaan yang nilainya tinggi di sisi Allah.

Dalam pengajian yang saya simak dari Ustadz Khamim Mustofa Zb menjelaskan dalam Kitab I’anatu Ath-Tholibin karangan Syeikh Abu Bakr ‘Utsman bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi Al-Bakri. Yang merupakan syarah dari Kitab Fathul Mu'in karangan Syeikh Zainuddin Al Malibari. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa pekerjaan yang nilainya tinggi di sisi Allah ada 3 yaitu : Bertani dengan alasan dekat dengan tawakal, termasuk yang ditanam bisa bernilai sedekah ketika dimakan oleh orang atau hewan.

Alasan bertani dekat dengan tawakal adalah karena hampir seluruh proses sejak awal hanya berpasrah kepada Allah. Sedangkan pupuk atau perawatan lainnya hanya sebagai lantaran saja. Selanjutnya yaitu, kerja kerasnya tangan. Kerja keras yang disandarkan pada tangan misalnya sekalipun pada buruh kasar, tukang batu, tukang kerajinan dll. Bahkan dalam riwayat Nabi Daud AS pun bekerja keras dari tangannya sendiri.

Terakhir yaitu berdagang. Pekerjaan ini tentu memerlukan modal dan ketelatenan. Sehingga dari itu berdagang termasuk ke dalam golongan pekerjaan yang tinggi nilainya di sisi Allah. Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW pun berdagang sejak masa mudanya. Paling terkenal yaitu ketika beliau menjual barang dagangan milik Sayyidah Khadijah bersama Maisyarah ke Syam.

Lantas bagaimana dengan pekerjaan di luar yang telah disebutkan tersebut. Intinya pekerjaan apapun selama tidak melanggar hukum syariat maka dapat dibenarkan. Sedangkan nilainya tinggi atau rendah hanya bergantung niat dan kualitasnya. Allah akan menilai hambanya yang jujur dan ulet dalam bekerja. Jika Bang Haji Rhoma Irama menyandarkan pekerjaan dalam syairnya pada aspek halal dan kejujuran. Jika dua aspek itu terpenuhi maka pekerjaan akan bernilai ibadah.

Terakhir saya jadi ingat Pramoedya Ananta Toer sang Begawan Sastra Pulau Buru itu pernah berkata bahwa, "Semua pekerjaan selain merampok dan mencuri adalah terhormat". Maka apa yang disampaikan oleh Pram tersebut menjadi pelengkap untuk kita semangat bekerja. Hidup harus bekerja karena kita tidak akan sejahtera jika tanpa usaha. Walaupun kita sadar rezeki itu sudah diatur dan tidak tertukar.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde