Langsung ke konten utama

Ngaji Kitab Al Fiqhu Wadhih 1





Woko Utoro

Alhamdulillah di Ramadhan tahun ini saya diberi kesempatan oleh Allah dapat mengkaji sebuah kitab putih di SS2. Awalnya saya hanya bergumam kapan ya bisa mengkaji sebuah kitab. Yang pastinya di sana saya akan sama-sama belajar bersama para santri. Hingga akhirnya kesempatan itu datang karena saya diminta Ustadz Wahyu menggantikanya.

Saya mengkaji Kitab Al Fiqhu Wadhih jilid 1. Kitab ini merupakan buah karya Prof Dr Mahmud Yunus. Kitab tersebut terdiri dari 3 jilid yaitu 1-3. Tentu Syeikh Mahmud Yunus merupakan tokoh ulama panutan dan pastinya produktif berkarya. Al Fiqhu Wadhih ini salah satu dari sekian banyak karya beliau yang masih dikaji hingga kini selain Kitab At-Tarbiyah wa at-Ta'lim.

Di awal ketika masuk ta'lim pertama saya menjelaskan kepada teman-teman santri mengapa kita mengkaji kitab Al Fiqhu Wadhih. Bukankah kitab tersebut diperuntukkan bagi pelajar Madrasah Ibtidaiyah (MI). Walaupun faktanya demikian yang jelas tidak ada salahnya kita belajar kitab tersebut. Karena sebuah karya dinilai dari sisi bobot serta nilai dan kebermanfaatannya bukan dari tebal atau tipisnya.

Saya menjelaskan keistimewaan kitab Al Fiqhu Wadhih dengan kitab fiqih lain misalnya Mabadi Fiqih karya Syeikh Abdul Jabbar. Al Fiqhu Wadhih sama seperti kitab fiqih lain misalnya membahas thaharah sampai shalat jenazah. Akan tetapi kitab ini ditulis hampir mirip seperti Kitab Ayyuhal Walad karya Imam al Ghazali dengan awalan "Yaa bunayya atau yaa waladii". Kitab ini selain ringkas juga berisi keterangan dan hikmah. Jadi selain kita mengetahui keterangan ringkasnya juga sekaligus mengerti hikmah di balik fasal tersebut. Terakhir dilengkapi dengan pertanyaan agar santri dapat memahami apa yang sudah dipelajari.

Karena saya hanya guru badal maka saya hanya melanjutkan fasal yang belum dikaji. Kebetulan saya kebagian membahas bab shalat jamaah hingga shalat Jum'at. Tak lupa pula di sana dibahas keutamaan, syarat, kesunnahan, sampai hikmahnya. Saya memastikan bahwa apa yang dipelajari akan bermanfaat di kemudian hari. Jadi jangan khawatir ketika santri putri belajar bab shalat Jum'at atau santri putra belajar bab wiladah, istihadah, nifas dll.

Di tengah pengajian tersebut tak lupa saya menjelaskan siapa pengarang Kitab Al Fiqhu Wadhih tersebut. Ya, Syeikh Mahmud Yunus adalah orang yang berjasa besar dalam arus keilmuan di Indonesia khususnya bidang agama Islam. Beliau lahir tahun 1899 di Sungayang Tanah Datar Minangkabau. Beliau adalah orang pertama yang mengusulkan pelajaran agama Islam masuk dalam kurikulum Nasional. Beliau juga merupakan rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) sekarang UIN Ciputat Jakarta dan IAIN Imam Bonjol 1967. Bahkan nama beliau diabadikan sebagai nama jalan menuju IAIN Imam Bonjol dan UIN Mahmud Yunus Batusangkar.

Tidak salah jika alumni Universitas Al Azhar Kairo tersebut begitu dihormati. Selain karena tokoh tafsir beliau juga menulis setidaknya 75 buku termasuk tafsir al Qur'an dan kamus Arab Indonesia. Hingga akhirnya orang hebat tersebut wafat pada tahun 1982 di Jakarta meninggalkan banyak karya dan teladan.

Di akhir sesi pengajian kitab ini saya berpesan kepada teman-teman santri untuk menjadi pencatat. Jadi jangan hanya bermodal ngaji kuping. Seorang santri harus membawa catatan, buku dan pena. Karena kata Sayyidina Ali, ilmu itu ibarat hewan liar sedangkan menulis adalah mengikatnya. Akhir kata sore itu pengajian ditutup dan teman-teman bisa berburu takjil sambil harap-harap magrib segera tiba.[]

the woks institute l rumah peradaban 26/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde