Langsung ke konten utama

Obituari : Mak Ikem Sang Pejuang




Woko Utoro

Magrib sekitar pukul 17:50 ketika saya membantu tetangga membagikan takjil tiba-tiba telpon berdering. Bapak menelpon saya dan itu perasaan yang sudah terduga. Ya nenek saya Mak Miskem meninggal. Mak Miskem atau kami memanggilnya Mak Ikem dikabarkan tidak mau makan beberapa hari. Dari itulah saya hanya bisa berdoa dan harap-harap cemas.

Mak Ikem memang sudah sepuh dan saya tidak bisa menolak jika kabar itu tiba. Ternyata tepat malam hari kamis kliwon atau jumat legi 14 Maret 2024 beliau berpulang. Untung saja pada liburan bulan Januari saya masih sempat mencium tangan beliau. Walaupun di momen itu beliau sudah tidak mengenali saya yang tak lain adalah cucunya. Berbeda dari tahun lalu di mana beliau masih mengenali saya sebagai salah satu cucunya.

Kepergian beliau tentu melengkapi saudaranya yang sudah lebih dulu berpulang. Sudara Mak Ikem yaitu Ki Dobleh dan Ki Mukri sudah lebih dulu dan memang Mak Ikem adalah bungsunya. Saya mencatat jika Mak Ikem merupakan orang lawas. Beliau lahir tahun 1920 atau 1940 versi dua KTP. Tapi saya lebih percaya yang kedua 1940 karena beliau melahirkan Budhe saya tahun 1960 dan Ibu saya tahun 1975.

Beliau memang salah satu kalangan sepuh yang awet di antara angkatannya di dusun kami. Misalnya seperti Mak Tur, Mak Inut, Enek, Mak Wasti, Mak Kemen, Nini Tajem dan yang tersisa tinggal Mak Tasmirah dan Mak Warti. Maklum saja orang dulu cenderung awet karena pola makan dan pola hidupnya yang natural. Jika bicara tentang beliau tentu banyak kenangan yang saya lalui. Walaupun sebenarnya saya tidak kuat menyeka air mata untuk melanjutkan tulisan ini.

Pertama, saya selalu ingat bahwa di rumah beliaulah saya sering menginap. Bahkan fase kanak-kanak saya tidur bersama beliau. Karena saya sering kena marah bapak. Maka dari itu rumah beliau adalah tempat pelarian ternyaman. Karena rumah kami berdekatan dan itu salah satu alasan saya bersembunyi ketika bapak marah. Kadang Mak Ikem lah yang menjadi tameng membantu saya karena sering kena marah. Selain itu kamar beliau sering berantakan karena dipenuhi buku-buku saya. Tapi beliau dengan sabar menyuruh saya merapikannya.

Kedua, ketika ngobrol dengan beliau pasti kita anak cucu akan diceritakan kisah jaman dulu. Jaman di mana Belanda dan Jepang menjajah Indonesia termasuk daerah Gantar Mekarjaya. Beliau juga dengan detail bercerita kejadian pemberontakan DI/TII yang meletus di hampir wilayah Jawa Barat. Intinya di era ini beliau adalah saksi sejarah.

Kata beliau tidak terbayang jika dulu ingin makan saja susahnya minta ampun. Beras dan padi persediaan di lumbung harus digantung di pepohonan atau dikubur dalam tanah. Semua demi agar tidak dijarah oleh penjajah dll. Beliau juga sering berjualan atau menjadi buruh cuci piring di berbagai kampung dan semua itu dilalui dengan jalan kaki. Hingga masuk reformasi beliau juga masih menjadi penggembala kambing sampai masa tuanya.

Orang sepuh dulu tipenya sama. Tidak bisa diatur dan secara psikologis memang sudah kembali seperti kanak-kanak. Walaupun begitu saya saksi beliau orang baik, humoris dan pastinya bersahaja. Beliau tipe pejuang dan memang apapun dilakukan. Sudah tidak terhitung bagaimana penderitaan beliau. Termasuk ketika beliau nomaden demi mencari tempat yang aman. Demi bertahan hidup dan meneruskan kehidupan.

Salah satu pesan beliau masih saya simpan rapi dalam rekaman beberapa tahun lalu. Di antaranya yang akan selalu saya ingat adalah "aja tinema tinemu" atau berarti jangan sampai terulang kembali. Pesan tersebut adalah bentuk kekecewaan terhadap kehidupan tapi kita harus tetap optimis dan terus memperbaiki diri. Selanjutnya "Besok jagabaring kudu sing eling, sing brayan urip karo batur sedulur" atau nanti jika suatu hari hidup di masyarakat harus ingat, harus menjaga harmoni kepada keluarga maupun masyarakat. "Luru elmu nggo awake dewek aja kaya emak, wong bodo ketoloyo", carilah ilmu untuk menjadi penerang jangan jadi orang bodoh yang gelap gulita.

Begitulah kiranya, catatan singkat tentang Mak Ikem. Saya hanya bisa berdoa semoga beliau tenang di alam sana. Saya juga optimis beliau berpulang di bulan baik, bahkan Miskem diambil dari kata Kemis dan beliau meninggal di hari Kamis. Semoga saja menjadi kafarah beliau untuk sowan menghadap Allah. Sugeng tindak Mak Ikem, husnul khatimah lahal fatihah.[]

the woks institute l rumah peradaban 17/3/24








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde